Mei 2015. Zaman di mana komik Indonesia masih belum naik daun. Hanya ada dua cara untuk menikmati komik pada saat itu: membeli bukunya di toko buku, atau mengunduh bajakannya secara gratis di jagat maya. Masyarakat masih bimbang, menerka-nerka, apakah yang disebut “komik Indonesia” itu, dan apakah itu akan sukses ke depannya.
Di lain tempat, Renato Reimundo Jr, juga dikenal dengan nama penanya Voyager289, turut membaca situasi ini, melihat komik Indonesia sebagai pasar yang potensial. Sebagai penggemar anime, dia paham betul komik seperti apa yang diinginkan oleh orang-orang sepertinya. Romansa komedi, tentu dengan balutan jejepangan yang khas. Awalnya, Rey (sebutan untuk komikus Tiap Detik) membagikan komiknya untuk dibaca secara gratis di situs ngomik.com. Karena responnya positif, penerbit Koloni menawarkan Rey untuk merilis komiknya dalam bentuk buku.
Pada awal rilisnya, komik ini langsung menuai berbagai pendapat. Banyak yang memuja komik ini sebagai “manga karya anak bangsa”, tetapi tak sedikit pula yang mengkritiknya karena masih terkesan asal-asalan dan “gak Indonesia banget”. Terlepas dari itu semua, komik ini menjadi salah satu komik terlaris di Gramedia tahun 2015.
Sesuai yang dijanjikan oleh komikusnya, Tiap Detik terdiri dari empat buku, yang rilis setiap tahunnya. Berhubung buku terakhirnya baru saja terbit, penulis akan mengulas segala hal tentang komik ini, dari awal sampai akhir.
PERINGATAN: TINGGALKAN ARTIKEL INI JIKA ANDA TIDAK INGIN TERCEMAR SPOILER.
Sinopsis Singkat
Tiap Detik bercerita tentang kisah Teo, seorang lelaki yang selalu dirundung kemalangan. Teo menyukai Riya, teman SMA-nya yang kalem tapi duduk di kursi roda, dan berencana untuk memacarinya. Surat cinta telah disiapkan. Namun sialnya, surat itu malah jatuh ke tangan Erina, gadis yang terkenal jutek di sekolahnya.
Erina pun menjadi pacar Teo, namun Teo hanya menganggap Erina sebagai teman karena masih mencintai Riya. Terjebaklah Teo dalam cinta segitiga yang penuh dengan naik turun, sampai harus berhadapan dengan Key, kakak Erina sekaligus antagonis utama dalam cerita ini, demi menyelamatkan orang-orang yang dicintainya.
Latar yang Membingungkan
Saat pertama membaca komik ini, pandangan penulis tertuju ke sekolah di mana tempat Teo dkk menuntut ilmu. Nuansa yang dihadirkan benar-benar terasa jejepangan. Bangunan sekolah, loker sepatu khas sekolah-sekolah di Jepang, tapi seragam sekolahnya mirip seragam sekolah negeri di Indonesia, lengkap dengan logo OSIS-nya, tapi seragamnya boleh ketat dan roknya boleh pendek. Pembaca pun dibuat bingung, cerita ini latarnya di Indonesia atau Jepang?
Kebingungan ini akhirnya dijawab oleh sang komikus di buku keduanya, yang sayangnya tidak banyak membantu. Diceritakan bahwa latar dalam Tiap Detik sebenarnya adalah alternate universe, di mana Indonesia menjadi negara maju dan berteknologi tinggi. Kebingungan justru semakin bertambah ketika mengetahui bahwa SMA Ciranca adalah sekolah negeri. Jika sedari awal sekolah ini diceritakan sebagai sekolah swasta, dengan seragamnya yang juga ala sekolah swasta, semua kebingungan ini tidak akan terjadi, dan tidak ada pihak yang tersinggung dengan seragam Erina yang ketat itu.
Komikus yang Mengerti Pasar
Mengingat komikusnya adalah seorang penggemar jejepangan, unsur wibu tentunya tidak terlewatkan di sini. Jojo Bizzare Adventure, Shokugeki no Souma, Shingeki no Kyojin, Yu-Gi-Oh, dan berbagai referensi jejepangan lainnya. Ada pula yang menilai cerita dari buku pertamanya mirip dengan serial anime Nisekoi, meskipun hal itu tak sepenuhnya benar.
Selain dari banyaknya selipan khas anime tertentu dalam komik ini, perwatakan karakter yang dibuat “se-anime mungkin” juga membuat komik ini lekat ke penggemarnya yang mayoritas wibu. Riya yang dandere, Hima yang kuudere, dan Erina yang sudah jelas-jelas tsundere. Ketiganya juga didukung dengan penampilan yang sesuai dengan perwatakannya, terutama Erina dan rambut pirang yang cukup lazim dalam karakter tsundere, yang tentunya mempunyai daya tarik tersendiri di kalangan wibu. Seperti apakah daya tarik itu? Biarlah penulis lain yang membahasnya di lain waktu.
Banyaknya unsur anime dalam sebuah karya memang manjur untuk menggaet pangsa pasar wibu yang loyal. Jika ingin merambah pasar yang lebih luas, komik semacam ini bukan hal yang tepat. Jangankan non-wibu, ada pula wibu yang kurang mengerti beberapa referensi anime dan berbagai meme kekinian (pada zamannya) dalam komik ini.
Cerita Menarik di Awal Itu Penting!
Alur cerita yang masih tampak santai di buku pertama dan kedua mulai meningkat di buku ketiga. Di situlah baru dijelaskan konflik antara keluarga Riya dan Erina yang telah berlangsung sejak lama, yang juga menjadi alasan kelumpuhan Riya dan kebencian Key terhadap Riya dan juga Teo.
Di sinilah peran Hima, cewek kuudere berambut pendek yang tak suka disentuh, menjadi amat vital di buku kedua dan seterusnya. Persahabatan Erina dan Riya mulai mengalami keretakan semenjak kedatangan Teo, ditambah dengan konflik keluarga yang kembali mengemuka, menjadikan Hima sebagai penengah antara Riya, Erina, dan Teo. Di balik diamnya, Hima adalah karakter yang serba tahu, menjadi tempat curhat di saat hubungan Erina dan Riya sedang dingin. Potensi karakter ini terlambat disadari dan menjadi sia-sia, mengingat Hima di buku pertama hanya dicitrakan sebagai gadis pendiam yang kebetulan menjadi pelayan kafe.
Potensi yang terlambat disadari ini tidak hanya berlaku bagi Hima, melainkan keseluruhan isi komik ini dari buku kedua dan seterusnya. Key, antagonis utama dalam komik ini, awalnya digambarkan sebagai karakter yang kuat, tanpa cela, tapi perwatakannya terkesan seperti perebut perempuan orang semata. Karakter ini baru dijelaskan sedetil-detilnya di buku keempat. Bahkan, pengertian tentang spirit dan karakter yang memilikinya baru dijelaskan di buku keempat, seakan-akan konsep ini hanyalah tambalan inkonsistensi dari ketiga buku sebelumnya. Alhasil, pembaca pun bosan dan tidak berniat melanjutkan komik ini lagi, karena cerita yang sudah datar sedari awal.
Kendati telah ditutupi dengan konsep spirit ini, masih banyak hal yang hal yang harus dipertanyakan dalam komik ini. Banyak bagian-bagian seru yang terlalu difokuskan di akhir, tanpa dibocorkan sedikit pun di awal. Adegan Teo vs Key demi menyelamatkan Erina berakhir dengan “ceramah no jutsu“, satu lagi referensi anime. Tari dan pesawat yang digambarkan di sampul belakang buku keempat ternyata benar digunakan dalam ceritanya… Hanya untuk transportasi cepat dari sekolah ke rumah Erina!
Bagaimana dengan Hima? Ternyata dia tewas karena membagikan spirit-nya ke Erina yang sekarat. Fokus cerita berubah jadi menyelamatkan Hima, tanpa kejalasan ke mana cinta Teo berlabuh.
Sulitnya Mempertahankan Pasar
Saat awal kemunculannya di pertengahan 2015, komik Tiap detik menjadi buah bibir kalangan wibu dan pemerhati komik lokal. Konsep “manga karya anak bangsa” menjadi faktor utama larisnya buku pertama ini. Fanart karakternya bertebaran dimana-mana. Sayangnya, euforia itu tak berlangsung lama. Saat kemunculan buku kedua, semakin sedikit yang membahas meskipun kualitasnya meningkat. Begitu pula dengan buku ketiga dan keempat, bisa dikatakan hampir tidak terdengar gaungnya.
Perginya pembaca buku pertama menjadi salah satu faktor melemahnya gaung Tiap Detik. Kualitas gambar dan ceritanya yang terkesan “setengah matang” membuat pembaca pesimis akan buku lanjutannya.
Kemunculan layanan komik daring berformat Webtoon, ditambah dengan semakin maraknya komik di jejaring sosial Facebook dan Instagram, semakin memperparah keadaan. Pembaca kini dapat membaca berbagai komik baru setiap minggunya secara gratis dan legal. Sang komikus tampaknya tidak menyadari peluang ini, dan tetap berfokus di komik cetak sampai akhir terbitnya. Laman penggemarnya hanya berisikan fanart kiriman pembaca, testimoni pembaca, dan progres pengerjaan buku selanjutnya. Andaikan sang komikus mulai menyadari akan potensi komik daring, setidaknya membuat versi komik strip ringan dari Tiap Detik, pembaca akan tetap ingat akan karakternya dan lebih mudah “nyambung” ketika buku barunya dirilis.
Komik ini juga hampir tidak pernah terlihat dalam perhelatan industri kreatif lokal, seperti Comifuro atau Pakoban. Padahal, acara ini dapat dijadikan kesempatan untuk berjumpa dan berinteraksi dengan penggemar, juga memasarkan komik dan merchandise-nya ke kalangan yang menjadi target utamanya, wibu. Tampaknya sang komikus harus memutar strategi baru agar komik Tiap Detik tetap dapat bersaing di pasaran.
Panggilan Wibu Untuk Berkarya
Terlepas dari berbagai penilaian negatif yang ada, komik Tiap Detik telah menjadi inspirasi dalam belantara komik lokal. Para wibu yang membaca komik ini, atau setidaknya melihat tren dari komik ini, mulai mencoba untuk membuat komiknya sendiri. Komik lokal bertema jejepangan, atau setidaknya menggunakan gaya gambar anime, satu persatu muncul ke permukaan. Banyak yang gagal, tapi tidak sedikit pula yang sukses dan dikenang.
Apakah keempat buku komik ini layak dibeli? Apakah pertanyaan #KemanaKomikIndonesia tiga tahun silam sudah terjawab? Biarlah Anda yang menentukan.
Tulisan ini adalah opini pribadi dari penulis, tidak mencerminkan pandangan umum Risa Media. Penulisan oleh Excel Coananda.