Berlawanan dari apa yang dipikirkan oleh sejumlah laki-laki penggemar subkultur Jepang di linimasa, tidak ada yang perlu dibasmi atau dihajar dengan adanya feminisme (atau 'SJW') dalam suasana Comic Frontier 14 (23/2) kemarin. Apa yang terjadi, harusnya, adalah diskusi-diskusi dan perbincangan seputar gender dan perannya dalam popkultur — serta mungkin bagaimana kancah otaku lokal terlalu dipusatkan pada narasi laki-laki.
Sebagai latar belakang, singkatnya, Comifuro 14 menyelenggarakan diskusi panelis dengan membuka empat panel. Sesi ini diisi oleh panelis-panelis dengan argumen yang kuat mengenai topik-topik tentang popkultur di Indonesia yang harus dibahas, seperti pembahasan tokenisme dalam 'budaya khas Indonesia' dalam artefak-artefak popkultur Indonesia yang dipaparkan oleh punggawa sirkel Cozy Production.
Namun, topik sentral yang menjadi sasaran dari artikel ini berasal dari panel lain berjudul 'Isekai dan Kebangkitan Karakter Perempuan Badass dalam Perspektif Perempuan' oleh Elma Adisya. Ketika topik ini diumumkan, sebenarnya, apa yang akan dibahas sebuah terlihat: representasi gender dalam karakterisasi tokoh-tokoh di anime dan manga isekai. Bagaimanapun juga, salah satu fokus feminisme kali ini adalah, ranah popkultur memang cenderung membahas, dan mengkritik, representasi gender: bagaimana perempuan dihadirkan dan digambarkan.
Untuk yang penasaran dengan diskusinya, berikut ini video rekamannya di bawah:
Apa yang lalu menganehkan — dan mengkhawatirkan adalah respon terhadap panel tersebut. Beberapa memberikan peringatan dengan nada yang tak ramah, seperti 'Comifuro disusupi SJW'. Respon-respon yang menanggapi, mulai dari mereka yang kurang nyaman dengan bagaimana materi dituturkan atau menyayangkan satu-dua perilaku dari panelis, sampai mereka yang yakin betul bahwa feminisme serupa penyakit yang harus dibasmi dan dikendalikan penyebarannya.
Padahal, sesi panel Comifuro kemarin menghadirkan harapan, yaitu bertumbuhnya diskusi di kalangan otaku Indonesia mengenai isu-isu kontroversial dan sensitif, yang diikuti dengan latar belakang masalah yang menarik, landasan teori yang kuat, dan argumentasi yang mumpuni.
Gagalnya Ruang Publik Otaku dalam Membangun Diskusi
Ada harapan yang menjanjikan ketika pertama-tama Comifuro 14 mengumumkan bahwa dirinya akan membuka kesempatan bagi mereka yang ingin berbagi untuk berdiskusi mengenai topik-topik yang berkaitan dengan popkultur di Indonesia. Sudah terlalu lama kita menghindari isu-isu sensitif yang harus dibahas karena 'tidak ingin mencari masalah' dan kalaupun dibahas, seringkali secara dangkal dan ditambah drama yang tidak perlu. Izinkan saya untuk membahasnya satu-satu.
Pertama adalah apa yang sering kita bahas di linimasa. Apakah kita, misalnya, membahas kasus-kasus pencurian karya seni atau artwork yang dihargai terlalu murah? Jelas. Salah satu resep post viral adalah mewartakan seseorang yang dianggap tak memahami nilai seni. Namun, di luar itu, kita tidak pernah membahas konsep intellectual property, atau bagaimana hal tersebut diterjemahkan di Indonesia sebagai HAKI, atau bagaimana terdapat perbedaan antara rezim IP di Jepang dan Amerika: bagaimana di Amerika, semua karya penggemar, termasuk fanart dan doujin dianggap sebagai pencurian karya seni, dengan konsekuensi tak ada konvensi anime di belahan dunia barat itu yang menampilkan karya penggemar. Kita tidak mencapai diskusi-diskusi itu. Hak cipta seringkali dibicarakan, tak pernah dibahas dengan sungguh-sungguh.
Untuk contoh lain, suatu hal yang langsung menyentuh topik feminisme: cosplayer. Apakah kita membahas ketika ada satu cosplayer yang dianggap terlalu banyak bicara atau skandal perselingkuhan saat Ennichisai? Tentu, dengan sangat ramai dan riuh. Tetapi kita tidak pernah menyentuh akarnya, gambaran lebih besarnya, atau apapun yang mulai mendekati tataran konsep. Misal, hipotesis dari rekan saya Risyad Sadzikri mengenai cosplayer di Indonesia yang terjebak di antara ekspresi diri dengan eksploitasi. Kita juga tak pernah mau membahas terkait betapa prevalennya suara laki-laki dan sedikitnya suara perempuan dalam kancah perwibuan, atau bahwa ada hal yang lebih mendasar dari sekedar mengkutuk pelaku pelecehan cosplayer, seperti rape culture.
Kedua adalah betapa tidak produktifnya waktu yang bisa kita gunakan untuk membahas hal-hal di atas. Kita menghabiskan waktu untuk mencari kesalahan lawan bicara tanpa benar-benar tahu apa yang kita sendiri bicarakan, lalu menambahnya dengan drama tidak perlu dan urusan-urusan personal lain.
Misal, kita bisa menghabiskan berjam-jam dan berhari-hari mencari informasi pribadi dari mereka yang mencuri karya gambaran orang lain dan mengulik masa lalu sosial media dari cosplayer dengan skandal, tapi kita tidak pernah sekalipun menyentuh level fenomena, apalagi konsep, apalagi teori, apalagi paradigma.
Kehadiran panel diskusi di Comic Frontier adalah sebuah momentum untuk mengubah kancah yang jalan di tempat ini.
Comic Frontier, Panel Diskusi, dan Public Sphere
Apapun posisi Anda terhadap panel mengenai isekai kemarin, satu hal yang jelas adalah bahwa terdapat konsep yang dibawa. Urusan bagaimana konsep tersebut diterima dan ditolak adalah apa yang dibahas dalam bagian ini.
Apa yang harus kita bangun adalah sebuah kultur akademik — memperdebatkan dengan tertata, rapi, diiringi dengan teori dan data. Hal mendasar yang kita semua inginkan, tapi jelas tidak kita terapkan pasca-Comifuro 14 ini. Contoh paling jelas adalah bagaimana suatu tesis (isekai seringkali menampilkan perempuan sebagai kelas-kedua setelah laki-laki) dibalas bukan dengan antitesis, tapi dengan sentimen (deminisme aneh-aneh, kelakuan SJW, Comifuro disusupi SJW).
Padahal, jika memang serius ingin melawan narasi panelis, banyak sudut yang bisa dicari. Misal, mungkin panelis tidak memahami dengan baik subject-matter (karya anime/manga) dari apa yang ia bawa sebagai contoh, atau bagaimana mungkin konsep yang ia bawa tidak cocok dengan fenomena yang ia pasangkan (kurang matang secara teoritis). Tidak berhenti di situ, counter-narrative bisa membawa data mengenai analisis karakterisasi dalam banyak anime isekai, misalnya, atau rasio penulis laki-laki dan perempuan dalam karya isekai.
Inilah yang dapat disebut sebagai kultur akademik, dan inilah juga mengapa panel diskusi Comifuro kemarin merupakan sebuah harapan. Dengan tak diawali dari post Facebook yang sifatnya sarkastik dan dangkal, isu ini dimulai dari pertanyaan penelitian yang valid (Bagaimana representasi perempuan dalam isekai?) dan menggunakan case-building yang valid juga (terdapat perubahan karakterisasi dalam isekai sepanjang waktu). Harapannya, karena dimulai secara akademik, isu ini bisa dilanjutkan dengan akademik juga. Kita bisa membahas banyak sekali hal, melebar ke fenomena yang lebih besar, seperti bagaimana perempuan seringkali hanya ada untuk 'melengkapkan' laki-laki', seperti pada harem atau sidekick petualangan, bagaimana anime membentuk 'maskulinitas' dan 'femininitas', bagaimana keberadaan karakter seperti Hideyoshi, Astolfo, dan Ansel memengaruhi persepsi otaku terhadap spektrum gender, dan masih banyak lainnya.
Harapan ini masih ada, tapi sejauh ini respon tetap menkhawatirkan. Kita terlalu terbiasa dengan drama, dengan menertawakan dan mengutuk Furidacchi, dengan mencibir komunitas seperti DACI/LACI, dan lain sebagainya. Akhirnya, narasi yang kontroversial itu dilawan dengan, sekali lagi, sentimen. Kita rugi besar ketika terlalu terfokus pada perilaku panelis saat diskusi (beberapa sumber mengatakan ia tak memberikan kesempatan laki-laki untuk bertanya) atau bagaimana pembahasannya cenderung 'sok-tahu'.
Kita benar-benar rugi besar kalau tidak memanfaatkan momentum ini untuk segera membahas mengenai gender dalam popkultur Jepang, tak usah jauh-jauh dengan 'kreator Jepang tak peduli' tapi bagaimana kita, di sini, tidak bisa tidak peduli, kecuali ingin mengasingkan para penggemar perempuan.
Padahal ada kesempatan membentuk public sphere, meminjam konsep dari Jurgen Habermas. Ada kesempatan untuk membentuk ruang-ruang diskusi kecil sesuai dengan struktur yang sudah ada sekarang (grup-grup dan sirkel kecil) mengenai isu yang ada dengan serius sekaligus tepat, untuk memahami konsep-konsep modern dan kritik — suatu langkah yang penting agar kita tidak menjadi konsumen pasif terhadap apa yang kita tonton dan kita dengar.
Lagipula, panel diskusi Comifuro hanyalah pemantik. Jika ingin memberi saran, jujur saja bagian 'tidak boleh menyinggung SARA dan seksualitas' sebagai salah satu syarat abstrak mengundang kekecewaan, mengingat bahwa kita benar-benar harus membahas bagaimana suku, agama, dan ras dibicarakan di anime, atau bagaimana ia kadang-kadang membentuk pemahaman seksualitas yang cenderung misoginis. Ia hanya pemantik — kita, di forum-forum bebas dan terbuka, harus melanjutkannya.
Lebih penting lagi, apa yang berbahaya dari sentimen antifeminis yang mulai naik ke permukaan adalah bahwa kita sedang membuat tempat yang tak aman bagi sesama penggemar, terutama penggemar perempuan. Kita bahkan belum menyentuh kaum-kaum marjinal lain, seperti orientasi seksual LGBT. Baru sebatas membahas perempuan saja, sudah banyak reaksi yang repulsif, merasa bahwa kita tidak perlu membahas ini. Ditambah lagi isu yang dibahas baru sebiji saja. Kita belum menyentuh bagaimana perempuan digambarkan dalam harem, bagaimana anime shonen seringkali menonjolkan maskulinitas tertentu, bagaimana anime shoujo cenderung menampilkan perempuan yang pasif, bagaimana kondisi bekerja bagi kreator akan berbeda antara perempuan dan laki-laki, bagaimana satu gender lebih mungkin menjadi target pelecehan dibandingkan yang lain, atau bagaimana perempuan tidak merasa aman dan nyaman di acara-acara jejepangan kita.
Masih banyak yang harus dibicarakan, secara serius dan ekstensif sekaligus santai dan rileks. Masih banyak yang bisa diperdebatkan. Kini bukan waktunya untuk menyerah terhadap narasi-narasi dangkal dan terperangkap dalam emosi personal: kini waktunya kita membahas isu-isu dalam popkultur Indonesia yang seharusnya sudah dibahas sekian lamanya di masa lampau yang sudah terlanjur berbahaya bagi beberapa teman kita.