12 Juni kemarin, Hiro Mashima mengumumkan adaptasi anime dari seri manga terbarunya, EDEN’S ZERO. Dengan adaptasi ini, Hiro Mashima telah berhasil mendapatkan tiga adaptasi anime dari seri manga buatannya. Tapi, apakah adaptasi anime ini mampu menyamai kualitas manganya?
Manga telah berkembang dari berbagai sisi dan mendapatkan berbagai macam adaptasi, baik berupa Anime, Live Action dan berbagai macam adaptasi lain seperti Merchandise mereka sendiri ataupun gim berbasis RPG. Adaptasi ini lumrah adanya seiring waktu.
Memang, ada beberapa kasus di mana sebuah Manga mendapatkan adaptasi anime yang lebih bagus dan merebut perhatian orang banyak, seperti Kimetsu no Yaiba. Di sisi lain, terdapat saat dimana manga yang diadaptasi menjadi anime malah merusak estetika dari manga itu sendiri. Manga ada untuk dibaca dan diresapi dari setiap panel ke panel yang diceritakan sang pengarang melalui cerita yang dibangun, demi menciptakan sebuah hiburan yang hanya bisa dirasakan lewat goresan pena diatas kertas.
Di sini, penulis akan melontarkan segelintir pendapat terkait adaptasi manga melalui segi estetik manga, dan beberapa faktor yang menyebabkan suatu manga mungkin sulit atau tidak memuaskan ketika dialihmediakan menjadi animasi.
Gaya Gambar Manga
Salah satu faktor mengapa sebuah manga tak bisa diadaptasi menjadi anime dari segi estetika manga yaitu gaya gambar. Manga lebih eksploratif dan luwes dalam hal penggambaran karakter, tarikan garis, dan penggunaan hitam putih daripada warna. Cara mangaka menggambar tidak berpaku hanya pada satu teknik: ada yang bergaya realistis hingga moe.
Mengapa hal ini menjadi salah satu faktor sulitnya beberapa manga dialihmediakan menjadi animasi? Sebab, beberapa diantaranya memiliki gaya gambar khusus yang hanya dapat dinikmati melalui medium terebut. Contohnya adalah Berserk.
Manga buatan Kentaro Miura yang diterbitkan pada Oktober tahun 1998 ini memiliki ciri khas berupa gaya gambar super detail dan terkesan realistis. Dapat terlihat bagaimana Kentaro Miura menuangkan imajinasinya dalam suatu gambar, sangatlah detail hingga bagian terkecil. Perpaduan penggunaan tinta dan tarikan garisnya sangat diperhatikan, menimbulkan kesan dark dan realistis yang menjadi ciri khas manga Berserk sebagai salah satu manga dark fantasy terbaik.
Dengan gaya gambar seperti ini, tidak mengherankan bahwa Berserk kemudian sulit diadaptasikan menjadi karya animasi. Memang, sudah tiga kali serial aksi tersebut memiliki serial televisi, pada tahun 1997, 2016, dan 2017, serta trilogi layar lebar yang ditayangkan pada tahn 2012 dan 2013. Dengan adaptasi sebanyak ini, tak ada yang mampu menyamakan level estetika pada manga-nya. Jika memang ada adaptasi yang mampu setaraf dengan manganya, mungkin hanya adaptasi seri televisi pada tahun 1997 yang mampu menyaingi, meskipun tidak benar-benar setara.
Selain Berserk, terdapat kasus lain, yaitu Blade of the Immortal besutan Hiroaki Samura. Manga ini menceritakan kisah Manji, seorang samurai yang tak dapat mati sebelum membunuh 1000 penjahat. Gaya gambar Samura ditonjolkan pada tarikan garisnya yang tidak rapi, menimbulkan efek kasar pada garis-garis buatannya. Tarikan garis juga bisa masuk sebagai gaya gambar karena mencerminkan cara menggambar sang pengarang. Gaya gambar Samura ini sangat cocok untuk adegan manga aksi, sehingga menimbulkan tensi cepat dan terbilang berbeda dan hanya bisa dinikmati lewat manga.
Selain garisan yang kasar, gaya gambar lain dari mangaka ini adalah penggunaan pensil. Beberapa kali Samura menggunakan pensil pada satu halaman penuh untuk menggambarkan adegan penting, seperti terlampir di bawah ini. Penggunaan pensil seperti ini mampu menimbulkan efek gelap, kasar, dan menyeramkan dan akan mengurangi efek yang diberikan jika diadaptasi dengan warna.
Penyampaian Cerita Melalui Panel
Bicara komik tentu saja tidak terlepas dari panel. Dalam film atau anime, panel dialihmediakan menjadi frame. Frame memiliki berfungsi sebagai pembatas layang pandang manusia ke arah mana yang harus mereka lihat untuk mendapatkan pesan dari adegan tersebut, sedangkan panel berfungsi sebagai bingkai momen dan ikon ruang waktu di dalam komik. Panel adalah cara komik bercerita. Bagaimana sang pengarang mengeksekusikan panelling-nya akan memengaruhi mereka yang membacanya.
Apakah sang pengarang mampu memberikan kesan dalam karyanya atau tidak tergantung pada panelling. Contohnya seperti ini: saat kita melihat adegan orang melesat dengan panel horizontal, di mana di kanan panel tersebut lebar lalu makin ke kiri, panel tersebut makin kecil, ada suatu kesan tersendiri yang timbul. Sebuah tensi tercipta, kesan yang hanya bisa dinikmati lewat manga.
Faktor ini bisa saja diadaptasi dengan baik dalam anime, jika proses pengadaptasian manga-nya dieksekusi dengan baik. Sebab, terdapat mangaka yang mengedepankan panelling dalam menceritakan manga-nya, seperti Yotsubato!
Manga ini berpusat pada anak perempuan berumur lima tahun bernama Yotsuba Koiwai yang belajar tentang lingkungan sekitarnya bersama dengan ayahnya, serta orang-orang yang berada di lingkungannya. Manga yang diterbitkan oleh Kiyohiko Azuma pada tahun 2003 ini mengolah panelling dalam memberitahu ceritanya.
Berikut adalah salah satu halaman dari manga Yotsubato! Dalam buku Understanding Comic: The Invisible Art karangan Scott McCloud, penjelasan dalam paneling ia bagi menjadi enam yaitu Moment to Moment, Action to Action, Subject to Subject, Scene to Scene, Aspect to Aspect, dan Non-Sequitur. Jika melihat pada contoh halaman, bisa dikatakan ini masuk ke dalam subject to subject karena di tiap panel sudah berbeda tokoh.
Panel pertama menggambarkan Yotsuba terbang terbawa angin bersama dengan payungnya. Di panel kedua, Asagi, salah satu teman Yotsuba mengejarnya. Lalu di panel ketiga, Ayahnya, Yousuke keluar rumah untuk mengejar Yotsuba yang terbang dibawa angin. Kiyohiko benar-benar memainkan transisi subject to subject dengan baik. Cara menyampaikan cerita lewat karakter yang berbeda di tiap panel yang tidak bertele-tele dan langsung to the point ini menunjukkan ciri khas Yotsubato!: tidak terlalu cepat serta tidak terlalu lambat sehingga menciptakan impact komedi yang hanya bisa dinikmati lewat manga.
Hitam dan Putih
Salah satu faktor lain adalah hitam putih. Ciri khas paling terlihat dari manga adalah penggunaan pewarnaan yang monokrom, hitam dan putih. Hal ini juga menjadi salah satu kesulitan adaptasi menjadi anime. Banyak manga yang mengedepankan teknik hitam untuk menyampaikan ceritanya, teknik blocking, penggunaan tinta dalam menggambar atmosfir, dan masih banyak lagi.
Salah satu contohnya adalah manga buatan Junji Ito. Hampir semua manga buatannya mengedapankan teknik hitam dengan tinta dan menciptakan atmosfir horor lewat teknik itu. Sebagai contohnya adalah halaman di bawah ini. Lihat bagaimana Junji ito hampir menggambarkan suasana hitam untuk kesan horror dalam satu halaman ini. Langit, pohon, awan, semua menjadi hitam dengan teknik blocking. Blocking bisa disebut sebagai menghitamkan. Contoh lain bisa dilihat pada komik Barat, salah satunya adalah Sin City ciptaan Frank Miller.
Kesimpulan
Telah dijelaskan faktor-faktor kenapa manga sulit diadaptasi menjadi anime, jika dilihat dari sudut estetika manga. Selain tiga di atas, masih banyak lagi unsur lain yang bisa dijabarkan, karena manga sendiri adalah gabungan dari berbagai macam unsur yang dituangkan dalam kertas kosong melalui tinta dan pena. Tapi, karena inti dari topik ini melihat dari sudut estetika manga, bisa dibilang ini adalah tiga unsur yang paling menonjol yang bisa dijabarkan.
Sejujurnya, faktor-faktor diatas bisa saja digarap menjadi anime. Bahkan mungkin melebihi manga itu sendiri seperti apa yang terjadi pada Kimetsu no Yaiba, di mana mereka terbantu berkat adegan pertarungan – yang selalu menjadi inti utama daya tarik manga shonen – yang diadaptasi sedemikian rupa. Dengan ini, masih mungkin untuk bisa melihat adaptasi anime yang ideal sesuai dengan kualitas manganya. Semuanya kembali kepada bagaimana pengarah studio anime mengarahkannya sehingga menghasilkan anime yang tidak jatuh terlalu jauh dari kualitas manga itu sendiri.
Manga tercipta berkat tangan-tangan kreatif pengarangnya yang berhadapan dengan segala hal seperti kerja lembur, stress, sakit yang selalu datang tiba-tiba, tapi masih tetap melanjutkan serialisasinya dan akhirnya menciptakan sesuatu yang bisa disebut sebagai karya. Jika pada akhirnya adaptasi anime tersebut tidak memuaskan seperti pada kasus seri TV Berserk di tahun 2016, maka sama artinya studio terkait tak menghargai pengarang yang telah bersusah payah menciptakan apa yang bisa disebut sebagai karya itu.
Gambar keluku dari Polygon.