Anime-anime berlatar sekolah merupakan tema yang sangat umum dan tentu saja digemari banyak kalangan. Anime berlatar ini umumnya bercerita tentang kisah romansa serta keseruan masa muda yang sulit dilupakan.
Tetapi, penulis mungkin tidak sendirian, pernah terpikirkan tidak? Kenapa tingkat otoritas sebuah dewan siswa terbilang sangat kuat, dan bahkan sampai dapat menutup sebuah ekstrakulikuler, membuat dan melanggar peraturan, menyakiti orang lain, tanpa dikekang oleh siapapun. Setiap anggota dewan siswa sering dipandang dengan rasa hormat, rasa takut, atau bahkan keduanya, karena memegang begitu banyak kekuasaan.
Sebagai contoh, Yamada-kun and the Seven Witches misalnya, adalah contoh sempurna salah satu elemen cerita dalam anime ini adalah Miyamura, Odagiri, dan Tamaki yang berlomba untuk menjadi ketua dewan siswa. Dewan siswa dalam anime ini memiliki hak istimewa yang siapapun tidak dapat membantah perintahnya. Bahkan, tentu saja, hak istimewa tersebut bisa mengatur sampai urusan luar sekolahβ ββ sebagai contoh, dewan siswa melarang siapapun untuk pergi mengunjungi rumah Asuka, dan ibu Asuka pasrah terhadap hal itu.
Di anime Kakegurui, dewan siswa berhasil membuat sistem kasta berdasarkan perjudian yang mengharuskan siswa membayar uang dalam jumlah yang sangat tinggi, dan memaksa mereka masuk ke dalam perbudakan dan bahkan pernikahan paksa.
Anime Kaguya-sama: Love is War juga menampilkan kehidupan kocak nan romantis di dalam ruangan dewan siswa. Di dalam anime tersebut juga tergambar bahwa dewan siswa memegang kendali anggaran selain untuk acara festival tahunan sekolah, melainkan juga tur studi, dan bahkan wisata liburan. Otoritas ini menjadikan bahwa jabatan seorang dewan siswa bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Karena itu, ketuanya merupakan siswa nomor satu di sekolah tersebut.
Dewan siswa khusus lain seperti di dalam anime Prison School, yang di mana Underground Student Council mengontrol penuh penjara sekolah yang kemudian digunakan untuk memenjarakan siswa lima laki-laki pertama.
Elit Sepuluh dalam anime Shokugeki no Souma juga membuat semua keputusan penting di Akademi Kuliner Totsuki dan memegang otoritas lebih tinggi daripada para guru. Elit Sepuluh juga memiliki pengaruh terhadap sebagian besar dunia kuliner karena memiliki akses ke koleksi resep, bahan-bahan dan peralatan yang nilainya hampir tak terukur.
Kultur Birokrasi-Hirarki Konfusianisme dalam Masyarakat Jepang
Negara-negara Asia, khususnya Jepang, memiliki nilai konfusianisme yang kuat. Tak heran, mereka memiliki kultur birokrasi-hirarki ala konfusianisme itu sendiri.
Konfusianisme sendiri adalah ajaran dari Konfusius yang merupakan filsuf besar dari Cina. Dalam ajaran Konfusius juga mengatur hubungan antar manusia dalam prinsip Wulun, yang berarti lima norma kesopanan dalam masyarakat yang mengatur hubungan antara:
- Raja dengan menteri, atau atasan dengan bawahan;
- Ayah dengan anak laki-laki;
- Suami dengan istri;
- Anak laki-laki dengan anak laki-laki; dan
- Hubungan antar teman.
Keteraturan dalam suatu masyarakat adalah suatu pandangan yang harus diciptakan oleh Konfusius. Dalam hal ini, poin nomor satu menggambarkan bagaimana sistem birokrasi-hirarki dalam masyarakat Jepang yang juga tersimulasikan kedalam anime berlatar sekolah.
Berdasarkan nilai konfusianisme tersebut, terbentuklah Amakudari. Amakudari, secara literal berarti 'turun dari surga'. Dalam istilah lebih jauh, mengacu pada birokrat senior yang diizinkan untuk mengambil posisi penting dengan perusahaan swasta atau semi-swasta setelah pensiun (Gibney, 1996, hlm. 322).
Nilai Amakudari memiliki sisi buruk. Pejabat pemerintah menganggap amakudari sebagai hal yang perlu, karena ketika mereka bergerak ke atas melalui jajaran, peluang untuk kenaikan pangkat menjadi lebih sedikit dan persaingan serta konflik di antara para pejabat menjadi lebih serius (Ikuta, 1992, hlm. 35β37). Gesekan bisa sangat parah, dan para pejabat yang gagal memenangkan jabatan kementerian elit diharapkan mengundurkan diri sebelum mereka mencapai usia pensiun normal.
Nilai-nilai Amakudari tergambar dalam sebuah anime Prison School di mana Kurihara Mari, anak dari kepala sekolah Hachimitsu Academy, menjadi ketua Underground Student Council di sekolah tersebut, melaksanakan otoritas-otoritas penuh yang pada akhirnya mengalami kekalahan persaingan terhadap Aboveground Student Council.
Otoritas penuh yang dipegang oleh Elit Sepuluh dalam anime Shokugeki no Souma juga merupakan bentuk adaptasi dari nilai Amakudari. Otoritas mereka tidak hanya sampai pada lingkungan sekolah, melainkan sampai memiliki pengaruh terhadap sebagian besar dunia kuliner. Kursi di Elit Sepuluh dianggap lebih berharga dibanding tempat apapun yang ada di sekolah, yang berarti mereka yang ingin menantang Elit Sepuluh harus melewati Shokugeki untuk bertaruh lebih dari sekedar pengusiran.
Selain Amakudari, nilai Ie juga merupakan sebuah sistem yang terbentuk dalam masyarakat Jepang dengan basis dari Konfusianisme. Basis pondasi dari sistem Ie adalah ajaran untuk 'menyembah' leluhur atau nenek moyang. Bagi sebagian banyak orang Jepang, kecuali kaisar dan aristokrat, asal dan nama leluhur seseorang biasanya tidak terlalu diketahui. Kendati demikian, tiap rumah masing-masing memiliki leluhur yang mereka βsembahβ. Nenek moyang ini dianggap sebagai satu kesatuan jiwa dari semua leluhur yang telah menjadi bagian dari garis keluarga sejak saat itu didirikan (Takeda, 1981, hlm. 7).
Hubungan Senpai-Kouhai juga merupakan nilai yang terbentuk dari ajaran lima prinsip dari Konfusianisme, yang sangat kental terasa di kehidupan sosial masyarakat Jepang. Nilai hubungan ini seringkali dianggap sebagai salah satu yang ikut andil dalam merusak perkembangan anak muda Jepang dalam berekspresi. Bahwa adik tingkat (kouhai) semestinya patuh terhadap kakak tingkat (senpai), baik itu dalam hal yang baik, maupun hal yang buruk. Sehingga, kebebasan ekspresi dalam masyarakat Jepang tertahan demi menjaga nilai tersebut.
Hubungan atas-bawah tersebut sangat mempengaruhi sistem birokrasi-hirarki yang ada di dunia pekerjaan dan lingkungan masyarakat Jepang, ternyata tersimulasikan dan tertanam sejak sekolah di Jepang untuk siap terjun kedalam masyarakat yang tergambar dalam premis beberapa anime berlatar kehidupan sekolah. Dari ketiga nilai masyarakat Jepang yang saling berkesinambungan yaitu, Amakudari, Ie, dan Senpai-Kouhai, terbentuklah suatu satir dan nilai hiperbola dalam anime bergenre school life, menggambarkan dewan siswa yang memiliki otoritas di atas segalanya.
Orang Jepang umumnya memanggil orang-orang dari negara lain sebagai gaijin, tidak peduli berapa lama mereka tinggal di Jepang atau seberapa baik mereka berbicara bahasa Jepang. Beberapa suami menyebut istri mereka uchi no mono (istri saya), dan orang-orang di luar keluarga dekat dikenal sebagai soto no hito (orang luar).
Pembagian ini mencerminkan dikotomi dasar dalam cara berpikir orang Jepang yang dikenal sebagai uchi dan soto. Uchi dapat didefinisikan sebagai (1) di dalam, (2) rumah dan rumah saya, (3) kelompok tempat kita berada, dan (4) istri atau suami saya; sebaliknya, soto berarti (1) luar, (2) di luar rumah, (3) kelompok lain, dan (4) di luar rumah (Kokugo Jiten, 1991, hlm. 99 & 706).
Kultur 'luar-dalam' ini juga sangat kental sekali dipengaruhi oleh Konfusianisme. Namun, penulis tidak melihat otoritas sebuah dewan siswa dalam anime dipengaruhi oleh kultur ini. Melainkan, kultur ini mendukung bagaimana dewan siswa melihat siswa lain adalah bagian soto. Hal ini yang kemudian mendorong bagaimana dewan siswa dalam anime menakar nilai otoritas mereka.
Misalnya, dalam Yamada-kun and the Seven Witches, seringkali bahwa keputusan dari pihak pemegang otoritas, dalam hal ini dewan siswa, mengeluarkan peraturan bahwa siapapun tidak boleh mengunjungi rumah Asuka. Keputusan tersebut tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun di luar dari dewan siswa.
Satir dan Hiperbola terhadap Realita
Nilai majas hiperbola dalam otoritas luar biasa yang dimiliki dewan siswa adalah sebuah gambaran pahit tentang realita di dalam masyarakat Jepang. Hiperbola ini digunakan sebagai kritik terhadap sistem birokrasi-hirarki di Jepang. Otoritas penuh dari sebuah dewan siswa yang mengancam kebebasan berpendapat antar siswa, mengancam eksistensi klub ekstrakulikuler, dan bentuk represif lain yang digambarkan dalam anime berlatar sekolah tersebut. Pengambilan keputusan yang hanya dapat diambil oleh para pemegang otoritas juga merupakan contoh dari kultur uchi-soto yang digambarkan mencederai kebebasan berekspresi. Padahal, dewan siswa seharusnya menjadi badan penampung aspirasi oleh para siswa.
Otoritas penuh yang digambarkan secara hiperbola ini tentu saja tidak menggambarkan penuh terhadap kondisi nyata dewan siswa di sekolah-sekolah yang ada di Jepang. Akan tetapi, nilai hiperbola tersebut ditujukan selain sebagai plot sebuah anime dalam bentuk, juga sebagai kritik satir akan bahayanya otoritas penuh tersebut, tidak hanya melukai aspek demokrasi dan kebebasan dalam bermasyarakat sebagai warga negara, juga menunjukkan degredasi nilai-nilai kuno seperti Amakudari yang bermasalah dan perlu direformasi.
Sebagai bukti, penulis tidak ingin memberikan bocoran cerita anime-anime yang telah disebutkan, tetapi kalian bisa menontonnya sendiri dan membuktikan bagaimana 'reformasi' dari sistem buruk tersebut tergambarkan dalam animenya.
Beyond the fiction of reality, there is the reality of the fiction
Kutipan di atas membuktikan bahwa karya fiksi sendiri memiliki nilai representatif terhadap sebuah realita itu sendiri. Meski tidak sepenuhnya nyata, fiksi di atas memiliki pesan tersirat seperti bagaimana nilai norma masyarakat Jepang selain baik untuk membentuk tatanan masyarakat yang tertib dan teratur, bahkan dapat dikatakan yang membawa Jepang sebagai negara maju hingga sekarang. Tetapi di sisi lain, kelemahan-kelemahan yang berdampak eksploitasi serta penyelewengan hak kekuasaan, dalam hal ini, otoritas sebuah dewan siswa, yang alih-alih sebagai penampung aspirasi siswa, malah merepresi para siswa dalam tiap sudut kehidupan bersosial dalam lingkungan sekolah.
Sebuah bentuk majas sempurna dalam menggambarkan fantasi sebuah organisasi yang memiliki wewenang tertinggi, entah itu berlebihan atau tidak. Anime sukses menjadi media satir dalam mengkritik sistem yang rapuh, sekaligus menjadi gambaran realita bahwa siswa di Jepang akan menghadapi masyarakat yang bagi banyak orang adalah dunia yang kejam, karena kita hidup dalam masyarakat.