Ulasan yang mengandung spoiler March Comes in Like a Lion/3-Gatsu no Lion sampai perkembangan manga paling mutakhir. Dapat juga menjadi ringkasan cerita jika anda tidak punya waktu, atau panduan bagi anda yang tidak terpengaruh dengan spoiler.
Di mana tempat anda berlabuh? Di mana tempat anda dapat mengatakan, 'Ini rumah saya', dan siapa orang-orang yang bisa anda katakan, 'Ini keluarga saya' atau 'Ini teman-teman saya'? Apa pekerjaan yang bisa anda sebutkan, 'Ini pekerjaan saya', dan mengapa?
Jika dapat diringkas jadi satu—bagaimana anda menempatkan diri anda sendiri, memastikan diri sendiri, di dunia yang semakin penuh dengan ketidakpastian? Sebuah tempat, atau seseorang, atau suatu pekerjaan, dapat dengan mudah keluar dari mulut. Tentang apakah kita menambatkannya sebagai bagian dari diri kita, yang dijaga dan dibanggakan, adalah urusan lain.
Sangatsu no Lion adalah sepenuhnya rekaman bagaimana Rei Kiriyama melihat dirinya sendiri, orang-orang di sekitarnya, dan segala hal yang terjadi diantaranya. Melalui empat bagian, tulisan ini bermaksud untuk mengarahkan apa yang dirasakan oleh Kiriyama dan bagaimana ia menanggapi dunia yang tetap berputar di sekelilingnya—sedang dunia itu tidak punya kasih sayang ataupun kekejaman, Kiriyama menjalani sedikit demi sedikit semua perasaan di muka bumi, segala amarah dan kepahitan, ketakutan dan kehilangan.
Anak Buangan di Antara Dua Kota
Bagaimana anak kecil pada umumnya memahami diri sendiri? Pertama-tama adalah keluarga. Rei Kiriyama telah kehilangan seluruh keluarga kandung pada umur yang terlalu muda. Kedua adalah hobinya. Rei Kiriyama pada awalnya menenggelamkan diri dalam papan shogi untuk menutup-nutupi rasa sakit, bukan untuk bersenang-senang. Ketiga adalah prestasinya. Rei Kiriyama adalah satu dari sedikit anak muda yang telah menjadi pemain shogi profesional sejak dini—hasil penenggelaman diri setiap hari. Keempat adalah pertemanannya. Rei Kiriyama tidak punya teman sebaya, apalagi yang pandai bermain shogi seperti dirinya.
Segera setelah kehilangan keluarganya, ia diadopsi seseorang yang baik hati, yang menyadari bahwa ia punya talenta bermain shogi. Keluarga Kouda berisi kepala keluarga yang baik hati dan sisanya adalah anak-anak kandung yang merasa ditinggalkan. Tidak ada anak kandung Kouda yang dapat memuaskan ayahnya soal talenta dan prestasi. Apakah kemudian salah tangkap ini salah Kiriyama? Tidak, tapi ini tidak menghentikan Kyouko untuk menjadi kakak tiri yang brengsek betul, lengkap dengan kekerasan domestik dan peringatan harian bahwa anak adopsi selamanya bukan bagian dari keluarganya.
Ia kehilangan satu keluarga dan tidak diterima keluarga yang lain, tanpa teman dan kesenangan, ataupun hal-hal sepele sekali yang seharusnya ia rasakan. Ia adalah anak buangan di antara dua kota, tersangkut di atas jembatan yang semakin hari semakin pengap dan memuakkan.
Burung kukuk biasanya akan menitipkan telurnya di sarang burung lain, untuk kemudian menetas dan menghisap makanan, tenaga (dan mungkin juga kasih sayang) dari telur-telur asli sarang tersebut. Segera setelah membaca perilaku burung ini, Kiriyama muda keluar dari rumah keluarga barunya—menghilangkan kepura-puraan untuk hidup sendiri seutuhnya.
Rei Kiriyama tidak, dan tidak bisa, memahami dirinya sendiri.
Dalam Hidup yang Sepi, Tiada Musuh Kecuali Diri Sendiri
Pertolongan pertama. Keluarga Kawamoto adalah orang-orang baik yang menolong siapa saja, termasuk Kiriyama yang tiba-tiba lunglai di tengah jalan, malam-malam. Empat orang dengan tugasnya masing-masing, mulai dari mengurus si bungsu sampai menghidupi toko manisan tradisional. "Sering-sering ke sini untuk makan malam!" ujar mereka, namun orang yang terlalu lama merasa sendiri tidak akan tiba-tiba mendatangi tempat seterang itu—alih-alih menenangkan, rumah Kawamoto terasa silau.
Kemudian adalah bayang-bayang. Jika ia ditinggalkan keluarga sendiri dan ditolak keluarga Kouda, apa alasan ia dapat 'masuk' dalam keluarga Kawamoto? Bukankah ia akan sama kurang ajar-nya seperti sebelumnya? Bukankah sebaiknya ia sendiri, sepenuhnya, tanpa mengganggu orang lain?
Izinkan saya menjelaskan apa yang berkecamuk di pikiran Kiriyama waktu itu. Adalah pasti bahwa apapun yang ia lakukan, baik atau buruk, merupakan bencana bagi orang lain. Bagi Kyouko, misalnya. Maka, apapun yang ia lakukan, ia tidak boleh merasa nyaman atau memiliki perasaan belonging terhadap orang lain. Maka, agar tidak menjadi petaka bagi orang lain, ia memutuskan semua ikatan yang bisa diputuskan, sampai akhirnya hanya tersisa Kiriyama seorang, tanpa keluarga, tanpa teman.
Apa yang pada saat itu tidak dipahami Kiriyama adalah ketika semua orang ia hilangkan dari hidupnya, ia tertinggal dengan dirinya sendiri. Dan ketika kita hanya bisa melihat diri sendiri di setiap cermin dan kaca, hanya sosok itu yang bisa kita salahkan, kita benci, dan kita kutuk dengan amarah. Dengan kata lain, ketika kita mengurung diri, kita tidak punya sumber keputusasaan dan kekacauan selain diri sendiri.
Lama-kelamaan, seorang yang berusaha untuk hidup soliter hanya bisa berpura-pura sampai ke titik tertentu sebelum akhirnya tenggelam dalam kesepian yang ia bangun sendiri. Lama-kelamaan Kiriyama akhirnya mempertanyakan: mengapa sebenarnya ia bermain shogi? Mengapa ia ingin menang? Mengapa ia memutuskan untuk tinggal sendiri? Adakah nilai dalam kegiatan-kegiatan ini, adakah kebahagiaan dan kekecewaan yang berdiri sendiri, selain bahwa ia hanya berusaha untuk mereplikasi perasaan-perasaan yang harusnya datang dari manusia lain?
Kesepian serupa gasolin—jika dibiarkan terlalu lama, anda akan dilahap sepenuhnya, cepat atau perlahan. Ia akan menghapus seluruh perasaan yang pernah hinggap sebelum akhirnya habis tidak tersisa apapun untuk dirasakan, untuk disenyumi, untuk ditangisi. Hanya gelap yang tidak berujung dan abu yang begitu rapuh, terombang-ambing tertiup angin.
Untungnya, Kiriyama masih sempat menghentikan bara api tepat pada waktunya. Semacam mekanisme terakhir, pelatuk yang tidak terkira, suatu rasa primordial bahwa tidak hanya harus bertahan hidup, ia perlu merasakan hal-hal lain. Bahwa untuk memahami diri-sendiri, ia pertama-tama harus menerima bahwa ia tidak bisa menghabiskan masa mudanya melawan diri-sendiri.
Amarah adalah Niscaya, dan Tidak Semuanya Sia-sia
Hinata Kawamoto adalah contoh mereka yang berusaha baik kepada siapapun. Sementara protagonis egois kita sedang bertarung melawan diri sendiri, Hina memastikan bahwa setiap pertarungannya dipasok makanan yang kaya nutrisi, tempat untuk berteduh, dan rumah untuk berlabuh. Bersama dua saudara dan kakeknya, ia tanpa pamrih memberikan bantuan dalam bentuk apapun bagi anak muda berprestasi itu sampai ia selesai dengan perangnya yang begitu kompleks dan hanya bisa ia selesaikan sendiri.
Hinata Kawamoto juga adalah contoh mereka yang terlambat sadar bahwa tidak semua orang ingin orang lain baik bagi siapapun. Dihadapi dengan perundungan akibat urusan sepele a la murid-murid sekolah menengah, ia merasakan untuk pertama kalinya ketidakadilan, intrik politik pertemanan, dan hal-hal buruk lainnya.
Semua orang 'baik' pasti pernah merasakan ini, dan pada akhirnya mereka akan ikut jalan yang sama, yang begitu menjemukan: tentang dunia orang dewasa, tentang menyelamatkan diri sendiri, tentang ketidakbergunaan menjadi 'idealis', tentang perlunya menyesuaikan diri dengan 'kerasnya dunia nyata'. Hina, pada waktu itu 15 tahun, memilih jalan paling sulit yang bisa ia lalui:
Lalu terbitlah petir di kota yang begitu tenang dan sungai yang begitu pasif. Kiriyama menyudahi permusuhannya dengan diri-sendiri—sementara, ia akan mengunjungi pertarungan itu berkali-kali kemudian, mungkin sampai kapanpun—dan melihat di depan matanya, dari satu pasang telinganya, seorang yang memilih untuk tidak mengkhianati apa yang selalu ia lakukan: jadilah orang baik kapanpun kita bisa, dan selamatkan orang lain sebagaimana kita menyelamatkan diri-sendiri.
Pertama adalah rasa malu. Bagaimana bisa ia, yang selama ini dilindungi dan dijaga keluarga Kawamoto, merasa seakan-akan ia hanya punya dirinya sendiri? Apakah semua dukungan moral, semua perbaikan gizi, secercah cahaya dan kehangatan rumah sederhana itu adalah hasil melankolinya sendiri? Tidak, tidak. Selama ini, Kiriyama menutup diri dari bantuan yang sewaktu-waktu terbuka padanya.
Kali ini adalah waktu baginya untuk turut serta. Di titik itu, ia berjanji akan melakukan apapun untuk melindungi Hina. Di titik itu pula, untuk pertama kalinya sejak ia masih berkeluarga, ia punya tujuan hidup. Ia punya tambatan—dan menurut gurunya, selama ini ia tidak mengejar gelar shogi atau kekayaan, hanya mencari tempat dimana ia dapat nyaman hidup tanpa rasa takut atau rasa bersalah. Ia kini punya tempat tersebut beserta orang-orangnya, berikut perlindungan dan dukungan balik yang perlu ia berikan.
Kemudian adalah waktu yang tenang. Hina telah melewati masa-masa krisisnya, dan ia kini punya kawan baru, hidup damai satu sekolah dengan Kiriyama. Untuk sementara waktu, Kiriyama punya waktu untuk membangun strategi dan menyelesaikan beberapa pertarungan sampingan yang masih berjalan dengan dirinya sendiri.
Lalu serangkaian tipu daya. Kedatangan kembali ayah kandung yang selama ini absen dari hidup Kawamoto bersaudara. Antagonis tunggal penyebab pecahnya keluarga, yang tiba-tiba menghilang membangun keluarga baru, dan tak pernah kembali bahkan ketika istri pertamanya meninggal dunia. Seorang yang berkecimpung dalam bisnis abu-abu penuh penipuan namun begitu pengecut—ketika ia tertimpa masalah, ia kembali menduduki keluarga lamanya yang telah susah payah membangun kembali rumah tangga yang ia hancurkan sampai babak belur. Licik, manipulatif, dan yang paling menjengkelkan: tak tahu malu.
Maka kedua adalah amarah yang begitu membara. Untuk pertama kalinya, Kiriyama begitu murka dengan seseorang yang bukan ia sendiri. Seseorang yang begitu dekat dengan orang-orang yang ia cintai, namun begitu asing. Seseorang yang di atas kertas merupakan tokoh pertama dan paling utama bagi Kawamoto bersaudara, namun pada nyatanya tak lebih dari catatan kaki yang menjengkelkan. Paling penting, orang ini juga penyebab Momo tak punya sosok ayah, Hina menahan rasa sakit sendirian, dan Akari terlalu cepat mengambil figur 'dewasa' dalam keluarga.
Rei Kiriyama adalah seorang yang tak terlalu pandai di ranah sosial. Ia tidak punya 'musuh' tapi juga tidak punya banyak 'teman'. Ia canggung, bicara irit, dan lebih senang menghabiskan waktu luangnya sendiri. Namun, apa yang seringkali luput dari pikiran orang-orang adalah seseorang seperti Kiriyama dengan kesendiriannya seringkali memiliki tambatan hidup, dan siapapun yang mengancam tambatannya adalah ancaman eksistensial. Di hadapan ayah kurang ajar itu, ia bukan seorang canggung yang tidak punya banyak teman, atau seorang pemuda sopan santun yang irit bicara.
Jika ia sebelumnya adalah Kiriyama yang merasa asing di keluarga Kawamoto sebagaimana ia diasingkan keluarga Kouda, kini ia menyertakan diri. Ia tak peduli lagi posisinya di atas kertas sebagai 'bukan siapa-siapa'—Hina, Akari, dan Momo kini adalah tujuan hidupnya, dan setiap pengganggu adalah pengganggu dirinya, baik itu teman sekelas ataupun ayah kandung mereka sendiri. Dengan lantang ia menyatakan: "Saya menyertakan diri sebagai bagian dari keluarga ini. Anda, ayah kandungnya, tidak saya akui sebagai bagian dari keluarga ini".
Ia adalah pemegang api yang ia arahkan untuk membakar orang lain, dengan segala racun yang paling menyakitkan, dan jebakan yang paling menyeluruh. Bermodalkan pengetahuannya tentang permainan kompetitif dan riset strategi, ia meluncurkan jurnalisme investigatif amatir yang begitu canggih untuk mengetahui segala hal yang perlu ia ketahui tentang musuh pertamanya—dengan hasil yang tidak main-main. Ia kemudian tahu apa motif sang ayah kembali, lengkap dengan sejarah pekerjaan dan profil keluarga barunya. Amarah dalam bentuk terbaiknya adalah api yang terkendali, yang siap membakar siapapun yang menghalangi jalan.
Pada hari itu, Rei Kiriyama mengaum. Dan siapapun yang mengaum layaknya singa, pada waktunya, setiap lawan akan terkaing-kaing dengan perih.
Api Lembayung Menusuk Langit Gelap Gulita, Semacam Kembang Osmanthus, Manis Membara di Udara
Semua orang, juga mereka yang bukan protagonis, menjalankan pertarungannya sendiri-sendiri. Kai Shimada dengan kegigihannya yang seringkali tanpa hasil, tulang punggung yang terlalu dini merunduk, dan komplikasi lambung di umur yang terlamapu muda. Sakutarou Yanagihara yang tak sedikitpun kehilangan jiwa kompetitifnya di umur 60-an, bertarung di atas bara api dengan fisik yang semakin rapuh. Harunobu Nikadou yang penuh dengan harapan tentang masa depan dalam kondisi yang jauh dari memungkinkan, dengan rasa sakit yang seringkali begitu tiba-tiba. Fujimoto Raidou, si tua bodoh yang masih tertipu gadis kabaret muda nan cantik, padahal ia telah berkeluarga. Kyouko Kouda yang keburu terbakar habis dalam kesendiriannya dan hampir nihil kemungkinan untuk melihat orang lain secara semestinya. Touji Souya dengan kegetiran yang, anehnya, tidak pahit sama sekali, berikut memburuknya setengah pasang telinganya. Izaya Namerikawa dan kecintaannya yang mengerikan bagi jiwa manusia-manusia lain (yang buruknya, muncul akibat keluarganya berkarir sebagai usaha pemakaman dan penguburan).
Orang-orang ini berputar di sekeliling Kiriyama, tentu, tapi itu hanya perasaannya sendiri. Beberapa orang (terutama Shimada) sadar betul lagak protagonis milik Kiriyama, namun ia dan sejumlah karakter lainnya bukan sekadar pemasok tambahan untuk perkembangan karakternya. Mereka adalah orang-orang dengan kisah sendiri-sendiri, perjuangan sendiri-sendiri, berikut rasa sakit, pahit, amarah, tawa, bahagia, dan kebanggaan sendiri-sendiri.
Untuk sekian lama, hanya pembaca sebagai pengamat yang menyadari hal ini—bukan Kiriyama. Hanya ketika ia mampu melampau diri-sendiri dan menyertakan posisi diri (dalam hal ini di dalam keluarga Kawamoto), ia mampu melihat orang-orang lain sebagaimana semestinya.
Cukup menggelikan bahwa dengan perkembangannya paling mutakhir, dan dengan keberanian kurang ajarnya untuk tiba-tiba ikut serta dalam urusan keluarga orang lain, 'lagak protagonis'-nya justru semakin keluar. Orang-orang di sekitarnya justru semakin dapat melihat jelas keyakinan yang baru saja ia dapatkan dan tujuan yang baru saja ia raih.
Hayashida-sensei dan Shimada adalah dua orang yang paling sadar situasi: mereka bangga bahwa Kiriyama, yang dulu begitu sibuk dengan kegelapan yang ia bangun sendiri, kini mampu berdiri, bersinar, dan menunjukkan sikap yang sedikit kurang ajar—demi 'kenyamanan' keluarga Kawamoto, Kiriyama berusaha mencomblangkan Akari dengan dua orang seniornya tersebut!
Seluruh kisah ini terdengar melelahkan, padahal, sejauh ini cerita hanya meliputi kurang dari dua tahun kehidupan tokoh-tokoh di dalamnya. Hidup di umur 20-an bukanlah periode yang damai dan tentram, sedang Kiriyama, Nikaidou, dan Hina telah melewati periode yang begitu intens bahkan sebelum itu. Belum termasuk di dalamnya adalah beberapa orang, seperti Shimada dan Souya yang akan segera masuk paruh baya, dan beberapa lain yang akan semakin uzur.
Setidak-tidaknya, kita telah mencapai masa ketika Kiriyama mampu bersenang-senang dan berbahagia sebagaimana mestinya—bermain-main di klub setelah pulang sekolah, membantu toko manisan di pinggiran kota, dan berpegangan tangan waktu api unggun festival sekolah. Pada masa-masa krusial itu, gambaran sangat berbeda dari kesepian kronis yang kita lihat di awal-awal, Kiriyama dan Hina berada di hadapan "...api lembayung yang menusuk langit gelap-gulita, semacam kembang osmanthus, manis membara di udara".
Setelah ini, apa yang akan terjadi kepada Kiriyama esok hari? Siapa tahu? Jelas bukan Kiriyama. Kita hanya bisa melihat, dengan cemas dan pahit, tertawa dan menangis, dan segala perasaan yang seharusnya dirasakan semua orang dalam hidupnya.