Saat melihat thumbnail dari artikel ini, apa impresi pertama kalian terhadap jajaran karakter yang terpampang? Karakter yang memiliki keputusasaan? Karismatik? Prajurit dengan keteguhan?. Apapun jawabannya, pengenalan karakter yang menarik dan bisa langsung dimengerti dalam sekali pandang adalah sebuah kunci untuk menggaet minat pembaca dan itu adalah hal yang coba diraih dalam Stage 0 Battle Rally: Void Vortex ini.
Battle Rally: Void Vortex atau bisa disingkat sebagai BR:VV adalah ajang komik bertema cyberpunk yang diselenggarakan secara bertahap oleh KMI. Fokus kisah ini akan menempatkan karakter peserta sebagai tahanan dari penjara super ketat bernama Maggiore. Mereka dijebloskan karena tuduhan perlakuan mereka yang menentang rezim tirani pemimpin bernama ‘King’.
Terdiri dari stage pendaftaran OC dan tujuh stage komik, BR:VV diselenggarakan sebagai rangka melatih peserta untuk bekerja dengan cara yang profesional namun, menyenangkan. Stage paling pertama yang harus dilalui peserta adalah Stage 0 yang memiliki objektivitas berupa pengenalan karakter peserta kepada pembaca. Artinya, peserta diminta menunjukkan tentang bagaimana karakter miliknya ini seperti menampilkan kejadian penting di hidup, karakteristik, dan lain sebagainya untuk menciptakan impresi menarik. Dalam pengeksekusiannya, tentu saja harus mengerti kemampuan teknikal dalam menggambar komik agar visual yang disajikan mampu bercerita, tidak hanya teks.
Dalam rubrik kali ini, penulis akan menampilkan lima peserta yang berhasil mencapai objektivitas Stage 0 bersamaan dengan komentar para juri BR:VV terhadap komik mereka serta, ada dari tim redaksi yang ikut menilai komik ini dari sudut pandang awam. Apakah bagi orang awam, komik mereka cukup menarik? Kita simak pembahasannya di bawah ini. Para pesertanya adalah tiga peserta yang meraih hasil terbaik, satu peserta pilihan juri yang dapat ditingkatkan lebih, dan satu peserta khusus pilihan juri dan pilihan tim redaksi.
Mekar Melati: Penyesalan yang datang terlambat
Nama yang tak lazim bagi seorang lelaki beserta dengan perawakannya yang berambut panjang dengan warna putih bak bunga Melati sungguhan. Dalam komiknya, Melati adalah seorang pemberontak dan memiliki ibu yang terbujur lemah di rumah sakit. Penyesalan mungkin adalah suatu hal yang ingin ditonjolkan oleh MasAjib, sang pengarang, dalam komiknya ini. Rasanya seolah melihat kisah Malin Kundang tapi, tidak berakhir terlalu memilukan.
Mekar Melati adalah peraih nilai tertinggi dari stage 0 ini. Tak hanya meraih nilai tertinggi, karakter ini berhasil meraih objektivitas dari segi visual dan penceritaan. Juri BR:VV pun menjelaskan penilaian mereka tentang bagaimana MasAjib mampu meraih nilai terbaik dari keseluruhan peserta yang ada.
Juri menjelaskan bahwa keterbacaan yang ditampilkan dalam komik ini, terlihat dengan jelas. Hal ini termasuk krusial dalam pembuatan komik karena acapkali ditemukan halaman yang agak rumit dibaca. Sebagai seorang komikus, tentulah harus mengerti bagaimana cara kerja komik untuk mengalirkan arah mata pembaca dalam sebuah rangkaian sekuensial beruntun. MasAjib mengerti dengan jelas akan hal ini dan mengeksekusinya dengan baik sehingga tak memerlukan zoom in atau zoom out. Adegan per adegan dibawakan dengan alur yang tak begitu cepat, malah cenderung pelan untuk menciptakan ruang bernafas dan rileks bagi pembaca sehingga cerita mudah diikuti. Kontras karakter yang dibuat berwarna lebih terang daripada latar tempat, menciptakan kesan bahwa karakter ini penting. Jika terlalu gelap dan ramai dalam highlight karakter, pembaca malah enggan untuk melihatnya.
Keseluruhan penilaian dari juri dapat disimpulkan bahwa komik MasAjib ini to the point dengan objektivitas yang ada, informasi yang diberikan tentang penceritaan ajang BR, dan juga impresi yang berusaha ditimbulkan sukses tersampaikan dengan eksekusi yang rapi sehingga, berhasil mencapai nilai tertinggi.
Excel Coananda: “Dari tone warna dan penggambaran karakter, cerita ini bakal menjadi sesuatu yang dark. Karakter utama seperti berada dalam keputusan sulit. Mau menjaga ibunya atau ikut memberontak. He eventually choose the latter.”
Ibs: “Overall, saya termasuk suka penggunaan warna seperti ini. Dari segi cerita juga oke. Dalam dua halaman ini, ada alur flashback dengan transisi yang baik. Paling hanya posisi karakter pada halaman 1 yang agak menuhi, meski saya tahu itu untuk penegasan raut wajahnya. Saya juga suka karakter Melati ini, terkesan tidak umum. Lelaki berambut panjang dan berwarna putih seperti namanya. Penggambaran karater Melati dalam Stage 0 ini juga bagus. Ada senyum palsu dan terkesan tidak jujur kepada sang Ibu dan di halaman dua setelah flashback, Melati mengeluarkan air mata, tanda bahwa dia menyesal akan keputusannya. Saya malah penasaran dengan lanjutan ceritanya. Bagusss.”
Galath: Penyesalan yang dikemas ala Shonen
Tak banyak yang diceritakan dalam satu halaman ini tapi dari rentetan kejadian yang ada, dapat disimpulkan bahwa Galath seperti tipikal MC Shonen. Dia berjanji pada teman masa kecilnya tapi, takdir berkata lain. Dia malah harus mendekam di Maggiore.
Penilaian dari juri terhadap komik ini, condong kepada penggunaan panelnya. Juri mengganggapinya sebagai “panel yang bercerita”. Keefektifan penggunaan panel miring untuk menceritakan poin penting hidupnya dan diakhiri dengan panel tangisan itu, membuat Galath mencuri perhatian para juri. Panelnya pun tak memiliki jarak untuk menjelaskan waktu yang dilalui oleh karakter dan hal ini makin menimbulkan kesan bahwa rangkaian ingatan ini terpaksa untuk dia ingat. Tambahan lainnya yaitu, gaya penceritaan seperti ini klise terutama untuk manga Shonen tapi, berhasil disajikan dengan apik dan menarik. Teknikal gambarnya pun tak kalah dengan penceritaannya. Toning, sebuah teknik memberikan kesan dalam manga, yang diimplementasikan dalam komiknya terkesan baik, bahkan mampu memberikan volume pada baju zirah yang dipakai Galath.
Excel Coananda: “Kalau yang ini, agak miss dengan konteksnya tapi, agak bias karena ceritanya seperti apa sebelum masuk penjara. Sementara dari efek yang dipakai, udah cocok dengan penggambarannya.”
Ibs: “Wow...Too much information. 5 Panel dengan banyak cerita. Flashback di awal panel, kurang terasa seperti flashback. Karakter cowok ini juga menarik. Dia mengubah warna rambutnya juga, entah alami atau diwarnain. Karakter Galath ini sangat tipikal Shounen sekali. Menurut saya, juara pertama agak kurang appeal ke awam malah, juara kedua-lah yang paling mudah diterima awam setidaknya, dari sudut pandang wibu.”
Wolfra_Mite: Waspada terhadap ucapannya. Kau mungkin akan tunduk padanya.
Komik selanjutnya yang akan ditampilkan agak berbeda dari dua komik sebelumnya. Jika sebelumnya bercerita tentang keadaan yang terpuruk, yang ini menceritakan keadaan yang berbanding terbalik, sudut pandang seorang pemimpin pemberontakan.
Wolfra_Mite adalah urutan ketiga peraih nilai tertinggi di Stage 0 kali ini. Kemungkinan, komik buatan Aphatise Roi inilah yang paling menonjolkan impresi pertama dengan menarik. Sekali memandangi dan melihat komiknya, kita bisa langsung menyimpulkan bahwa Wolfra adalah pria berkharisma tinggi dengan ambisi yang besar. Tak berlebihan pula jika hanya melihat wajahnya saja, kita bisa terlena untuk tunduk pada mata berkilat nan tajam yang diselimuti aura pemimpin sejati itu.
Juri menyatakan bahwa saat registrasi OC, karakter Wolfra nampak plain dan kurang menimbulkan kesan tapi saat beraksi dalam komik, kenyataan tersebut langsung dijungkir balikkan. Impresinya sangat berbekas dalam menampilkan sosoknya yang manipulatif, pintar berbicara, dan perilaku khas ala pemimpin yang seharusnya. Tak hanya itu, jika kita perhatikan seksama, cahaya hanya menyoroti pada sosok Wolfra. Semakin menegaskan kesan bahwa dialah sang pemeran utama dalam lakon ini. Dialog serta monolog karakter juga dibuat dengan efektif dalam penceritaan. Dialog Wolfra hanya ada dua dari keseluruhan halaman komik, selebihnya adalah monolog yang bercerita. Juri mengatakan bahwa teknik penceritaan seperti ini cocok bagi karakter yang berada pada urutan teratas monarki, seolah kita tengah dibawa mendengarkan kisah biografinya. Dengan semua unsur ala pemimpin ini, juri juga menyatakan bahwa Wolfra dapat menjadi momok bagi sang tirani, King dan itu telah menjelaskan terkait tema dari BR:VV ini.
Meski begitu, ada sedikit kekurangan yang dimiliki oleh komik buatan Aphatise Roi ini. Di beberapa tempat, dialog kurang relevan untuk menceritakan apa yang ada dalam panel. Penceritaan melalui visual pun agak lemah karena terlalu mengandalkan dialog. Nyatanya dalam pembuatan komik, penceritaan melalui visual itu diutamakan agar pembaca bisa mengerti secara keseluruhan konteks tanpa melihat kepada dialog atau monolog yang terlalu panjang. Jika kita melepas dialog dan monolog dari komiknya, konteks cerita yang disampaikan akan hilang dan terkesan tidak jelas. Itu sebabnya kenapa Wolfra meraih urutan ketiga.
Excel Coananda: “Lemme guess, ini karakter villian atau semacam anti-hero. Komposisi warna yang dominan hitam ini menggambarkan dirinya sebagai karakter yang ditakuti.”
Ibs: “Anti-hero dan unsur penjahatnya kerasa. Ada beberapa poin desain karakter yang bikin penasaran seperti, gantungan plushie di pinggangnya. Membuat karakter ini unik dan menarik. Premis yang dihadirkan pun nampak seru. Tipikal kisah cyberpunk akan mencatut pada peradaban atau tatanan dunia baru dan dia memilikinya. Komposisi yang dihadirkan pun saya suka beserta layoutnya yang mantep. Yang ini pun bisa menarik bagi awam tapi, tak sekuat komik juara dua.”
Choi Hye Jin: Ilmuwan yang terfitnah
Jika yang dibahas sebelumnya cenderung seperti manga atau komik cetak, komik berikut ini lebih bernafaskan aliran webtoon dengan rentetan panel yang cukup banyak. Komik ini dipilih oleh juri karena mereka menganggap bahwa komik ini dapat ditingkatkan lebih.
Choi Hye Jin adalah nama karakter ciptaan Hans Strassman untuk Battle Rally: VV ini. Dirinya adalah seorang ‘ilmuwan’ dari suatu organisasi, meski pakaiannya nampak tak menunjukkan itu. Dirinya telah difitnah oleh oknum yang tak diketahui dan membuatnya dijebloskan ke penjara atas tuduhan yang tak dilakukannya.
Dalam BR:VV ini, peserta diminta untuk menciptakan komik dengan bentukan seperti komik cetak. Artinya, keseluruhan eksekusi setidaknya mengikuti pakem yang ditentukan agar dapat dibaca saat dicetak. Nyatanya, tidaklah salah untuk berkreasi seperti apapun dan tak mengikuti pakem komik cetak dan condong ke aliran webtoon seperti yang dilakukan Hye Jin ini tapi, ada hal yang perlu diperhatikan.
Juri berpendapat bahwa layout komik ini kurang tertata rapi. Saat membuat komik cetak, ada template yang harus diikuti agar komik tidak jelek atau tergeser ketika hendak dicetak. Dapat diperhatikan pada panel terakhir halaman 1, dialog agak mepet pada pinggiran. Hal ini dapat menimbulkan kesan risih dan membuat mata pembaca kelelahan karena tak ada ruang bernafas. Teks pun juga dapat diminimalisir. Ketibang menjelaskan secara gamblang keseluruhannya, cukup poin penting saja yang difokuskan agar halaman tak terlalu ramai. Paneling pun jadi sorotan juri karena terlalu bertele-tele dengan banyaknya panel yang tak relevan dengan apa yang ingin dikisahkan. Ini juga bisa diminimalisirkan sperti halnya teks. Salah satu hal krusial lain adalah penyampaian bagian yang penting, malah tak tersampaikan karena keburu ramai halamannya. Efek suara pun tak begitu menjelaskan dan terkesan kurang rapi. Stylish tapi, penerapannya bisa dimaksimalkan dengan penempatan yang baik. Seandainya semua ini bisa ditingkatkan pada stage berikutnya, komik Hye Jin akan terasa mantap karena sudah baik pada kemampuan teknikal dan mengerti harus menggambarkan apa dalam ceritanya.
Excel Coananda: “Dari keliatannya, karakter ini kaya pasukan pemberontak yang akan makai cara kekerasan, ya. Bagian panel bawah di halaman satu berasa kurang nyambung kaya, dia pertama noleh ke kiri, panel selanjutnya ke kanan. Jika maksudnya menoleh ke kiri-kanan, harusnya ada tambahan speed line gitu. Penempatan panel juga ambigu. Pada bagian ‘Tidak disangka’, gak terlalu keliatan kalau dia itu panel terpisah.”
Ibs: “Impresi karakter jujur aja gak terlalu banyak, mungkin karena desain karakernya yang ala prajurit perang dunia 2 padahal temanya Cyberpunk. Setidaknya, jadi sisi nyentrik bagi karakternya. Proporsi karakter mungkin bisa ditingkatkan agar bisa konsisten. Tata letak panel, saya pribadi, suka meski agak berantakan dikit aja seperti nabrak sana-sini. Informasinya pun sulit diterima oleh mata awam. Penggunaan tone warna pun juga saya suka.”
Helena: Inilah orator massa ala Cyberpunk!
Setelah membahas aliran manga dan webtoon, tidak afdhol jika tak mengungkit aliran komik barat atau western. Komik dari karakter bernama Helena ini berhasil menarik perhatian para juri karena performanya. Tak hanya juri, tim redaksi pun menyukai komik ini.
Dapat dilihat bahwa Helena adalah seorang orator massa yang bekerja melalui jasa streaming. Dia kerap memberitakan pada viewer-nya tentang sepak terjang para pemberontak dengan nadanya yang mampu menciptakan api pemberontakan. Karakter ciptaan Blaber Iqeeh ini benar-benar menarik perhatian dengan nuansa Cyberpunk yang seharusnya ditonjolkan pada BR kali ini.
Juri menjelaskan bagaimana komik Helena menarik perhatian dari segi warna, esktetika dan lainnya berhasil to the point. Warnanya flashy tapi, terjaga kualitasnya dan dapat dibaca. Begitu juga dengan keterbacaan meski banyak teks. Efek suara yang digambarkan pun juga stylish menyesuaikan gaya gambar dari sang pengarang. Konsistensi pengeksekusian volume dan ukuran efek suara sangat diperhatikan agar sesuai dengan impact yang ingin diberikan seperti contoh, efek suara pukulan digambar dengan tajam dan tegas. Tak hanya itu, dialog juga ditempatkan menjadi efek suara seperti yang digambarkan pada panel ketiga halaman dua. Transisi panel pun juga bercerita agar kesan yang ditimbulkan lebih impact. Tiga panel akhir di halaman dua adalah contohnya. Semakin ke kanan, gambar dibuat makin pecah dan makin merah menyesuaikan keadaan Helena yang makin tersudut.
Excel Coananda: “Nah yang terakhir, Impresi yang ini mirip seperti sebelumnya tapi, yang ini dari sisi sosok orator gitu. Penggunaan warna dia lebih jelas buat perbedaan antar panel. Untuk efek suara yang dipakai juga serasi dengan tema, jadi keliatan nyambung.”
Ibs: “Saya suka visual, cerita, bahkan aksi yang disajikan oleh komik ini. Impresi yang saya dapat cukup oke, meski tahu kalau ini lebih condong ke aliran komik Amerika. Gak jadi masalah buat saya apalagi, saya lebih memilih protagonis cewek yang badass seperti ini.”
Dari semua penilaian untuk komik ini, dapat disimpulkan bahwa pengenalan karakter dari para peserta telah suskes tercapai baik di mata juri ataupun awam tapi, ini masihlah awal. Masih ada enam stage yang akan dilalui untuk melihat sejauh mana sepak terjang para peserta dengan karakter ini dalam menjalani kisah utama BR:VV.