Menjadi kejutan untuk beberapa orang ketika HACHI dua tahun lalu mengunggah lagu baru bersama Hatsune Miku ke kanal Youtube-nya, berjudul ‘Sand Planet’. Sudah hampir satu dekade sejak produser itu menggunakan vocaloid untuk menciptakan lagu. Sebelumnya, ia dikenal dengan banyak hit bersama Miku, seperti Musunde, Hiraite, Rasetsu o Mukuro, Rinne, PANDA HERO, dan yang paling terkenal, Matryoshka. Tetapi HACHI, dalam jangka waktu dimana ia tak menggunakan vocaloid itu, tidak menghilang. Ia tetap memproduksi musik di bawah nama yang jauh lebih populer—Kenshi Yonezu. Nama itu sudah menjad langganan papan atas tangga lagu Oricon, dengan suaranya dan wajahnya sendiri.
“Kecilnya” Vocaloid untuk Dunia yang Besar
Beberapa penggemar berteori bahwa lagu itu menceritakan mereka yang memisahkan diri dari ‘rombongan’ produsen yang mengikuti Miku. Meniti kariernya sendiri-sendiri, atau mengembangkan produksi musiknya melalui jalan lain—sampai akhirnya tersisa sedikit orang yang masih mengikuti Miku sampai hari ini. Sebagai tambahan, lagu itu pada liriknya merujuk lagu-lagu vocaloid lain yang—sempat—populer, seperti Melt, Senbonzakura, dan Children Records. Judul-judul tersebut muncul bersamaan dengan pada saat HACHI masih aktif menggunakan vocaloid, sekitar medio 2008-2012. Sebagai perspektif, ketika Melt pertama kali dirilis oleh ryo, Indonesia baru sekali melaksanakan pemilihan presiden secara langsung. Lagu-lagu vocaloid yang mungkin pernah anda dengar, seperti World is Mine, Love is War, Ievan Polkka, Miku Miku ni Shite Ageru, juga muncul pada tahun-tahun ketika SBY belum selesai menjalankan masa kepresidenannya yang pertama.
Ketika vocaloid versi kedua dirilis oleh Crypton, ia pernah berada di mana-mana. Ia digadang-gadang sebagai suatu upaya yang revolusioner dalam musik, suatu peranti lunak untuk membaut musik yang bisa digunakan siapa saja, bahkan mereka dengan tanpa latar belakang musik. Crypton, waktu itu, menawarkan suatu alat yang bisa dimanipulasi sesuai dengan keinginan produser, secepat, setinggi atau serendah apapun frekuensi dan nadanya bisa dicapai (yang kemudian menghasilkan hal-hal seperti The Dissappearance of Hatsune Miku). Tetapi, meskipun ia berbentuk manusia, ia hanya nyata sejauh “Adobe Photoshop”, campuran ini membawa vocaloid menjadi sangat aksesibel—pada saatnya yang paling populer, medio 2009-2012, ia digunakan oleh siapa saja dan kapan saja dan kemudian masing-masing mengunggahnya ke NicoNicoDouga untuk berbagai macam hal—belum tentu mencari views.
Popularitas menjadi pertarungan bebas dan bukan arahan industri, sebab banyak dari produsen sekedar ‘mencoba-coba’ atau ‘iseng’. Dari ratusan ribu produk yang diunggah, beberapa menembus kanal streaming tersebut untuk kemudian mencapai hal yang lebih luas. Saga Story of Evil milik mothy menghasilkan sejumlah novel, komik, bahkan dua produksi teater, Cantarella mendapatkan adaptasi teater, Senbonzakura dan Bad end nighT mendapatkan novel ringan, dan lain sebagainya. Yang paling fenomenal di antaranya tentu Kagerou Projects. Dimulai dari Kagerou Days yang dinyanyikan Miku, ia berkembang menjadi media multi-platform dengan dua adaptasi anime, belasan novel ringan, manga, artbook, dan basis penggemar yang kuat.
Tren Pasar Vocaloid yang Kian Memudar
Vocaloid telah terbukti sebagai alat musik yang terdesentralisasi. Vocaloid bisa menjadi rock oleh Yuyoyuppe atau sangat pop seperti Honeyworks. Selain genre, ia juga menjadi sarana yang luar biasa untuk menceritakan kisah, mulai dari latar belakang kisah abad pertengahan oleh Hitoshizuku-P, kritik sosial seperti dalam Jigokugata Ningen Doubutsuen milik rerulili, atau kisah percintaan di Conti New milik Deco*27, kemungkinan seakan tidak terbatas. Festival-festival muncul, seperti MIKU EXPO, SNOW MIKU, dan Racing Miku. Vocaloid-vocaloid lain bermunculan pada tahun-tahun berikutnya, seperti GUMI, VY1, VY2, dan Fukase, serta dalam bahasa-bahasa lain seperti SeeU dalam bahasa Korea dan Luo Tianyi dalam bahasa Mandarin.
Tetapi tahun-tahun berikutnya tidak menandakan popularitas yang semakin meledak atau jumlah basis penggemar yang mencapai tingkat mainstream. Justru perlahan-lahan ia hilang dari berita, dengan jumlah lagu yang mencapai jumlah views mumpuni di NicoNico semakin menurun setiap tahunnya. Beberapa produsen masih ada dan aktif merilis lagu, tapi tidak ada lagi World is Mine atau Kagerou Daze yang lain. Lantas, yang menjadi pertanyaan ialah, kemana vocaloid? Kemana ia yang pernah disebut sebagai ‘diva digital’, Hatsune Miku? Lebih mengherankan lagi: kemana para penggemarnya?
Sebagaimana permasalahan musik-musik Jepang lainnya, satu artikel Kotaku menunjuk jarinya pada sistem hak cipta Jepang yang kacau balau serta ketertutupan distributor-distributor musik utama di negeri itu, yang menyebabkan lagu-lagu vocaloid yang sudah susah dicari dan hanya bisa ditemukan di youtube, akhirnya lenyap juga. (Ini termasuk rekaman live dari World is Mine yang menembus ratusan juta tontonan—terbesar di antara vocaloid lain—menghilang karena klaim hak cipta). Yang lain menyebutkan, sebagaimana pembuka artikel ini, bahwa mereka yang mendengarkan Miku pada tahun 2008 adalah orang-orang dewasa sekarang, mungkin dengan selera yang sudah berubah, dan produsennya pun mungkin sudah beranjak ke pekerjaan lain.
wowaka, seorang producer terkenal Vocaloid yang meninggal bulan lalu dengan hits seperti Rolling Girl dan Uraomote Lovers, bergabung dengan band HITORIE, ryo bergabung dengan Supercell, dan HACHI sebagaimana dikatakan sebelumnya sudah memiliki nama di kancah J-Pop dengan nama aslinya, Kenshi Yonezu. Beberapa produser lain dengan satu-dua lagu yang terkenal mungkin tidak pernah memiliki niatan untuk menjadi produser musik penuh-waktu. Singkatnya, sebagaimana tren lain, ia datang dan pergi.
Akan Kemanakah Vocaloid Di Masa Kini dan Mendatang?
Miku dan kawan-kawan bukan penyanyi atau kelompok musik pada umumnya. Miku tak bertambah tua, kualitas suaranya malah membaik seiring waktu, dan ia tak perlu mengurusi kehidupan di muka bumi yang penuh dengan keluh kesah. Yang menghadapi hal-hal tersebut adalah para produser, produser lah yang datang dan pergi, masing-masing mencoba menggunakan vocaloid untuk tujuannya masing-masing, untuk menciptakan hal-hal baru.
Mungkin memang sebaiknya begini, vocaloid yang redup tapi tak pernah padam, dengan peminat niche yang memiliki keuntungan sendiri. Mungkin memang tak semua produk musik harus mengikuti kultur industri K-Pop yang mencoba menancapkan diri di muka bumi, pada semua orang. Tetapi, agar kisah ini tak berakhir seperti lagu cosmo-P, The Dissappearance of Hatsune Miku, kiranya perlu untuk sekali dua-kali memutar kembali lagu-lagu lama dan melihat apa yang ditawarkan oleh vocaloid generasi terbaru, sebuah generasi yang siap mengemban tongkat estafet akan kreativitas para pendahulunya. Ketika dahulu kita mengetahui JimmyThumbP, generasi selanjutnya akan mengenal DIVELA sebagai figure dari genre rock untuk Vocaloid. Harapan penulis adalah bagaimana generasi-generasi penerus tersebut terus berkarya dan mengembangkan potensi yang masih sangat kurang digunakan dari produk kultural bernama vocaloid itu.
Tulisan ini adalah opini pribadi dari tim penulis kami, tidak mencerminkan pandangan umum
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Dimas Andaru Kusumo