Tanpa sadar, diri ini sudah kepala dua. Padahal, baru kemarin rasanya makan bangku sekolah dasar. 2007, sekarang sudah berjarak 12 tahun. Zaman hape masih numerik, zaman Internet masih damai. Beban yang dipikirkan hanya pekerjaan rumah dan ujian sekolah. Ah, sembari relaksasi diri dari hingar bingar kerjaan, saat yang tepat untuk nostalgia di masa itu. Lebih tepatnya, nostalgia kehidupan tahun 2007.
Kartun Pagi Masih Bejibun
Sebagai keluarga menengah atas di masa itu, fasilitas rumah bisa dibilang lengkap. Lemari penuh pakaian, kulkas penuh makanan. Di zaman sebelum ada ojek online dan busway yang masih tiga koridor, supir menjadi kebutuhan transportasi utama.
Meskipun hidup serba ada, kami percaya bahwa semua itu tak akan bertahan selamanya. Ada masa dalam hidup di mana kita harus mencukupi kebutuhan hidup secara mandiri. Orang tua kami percaya, pendidikan yang baik menghasilkan pribadi yang baik pula. Oleh karena itu, disiplin sudah diterapkan sedari kecil. Sekolah tidak boleh telat, makanya harus bangun pagi-pagi sekali. Jam 05.30 lebih tepatnya.
Hiburan utama di masa itu? Televisi tentunya. Itulah yang menjadi tontonan kami setiap pagi. Salah satu tontonan favorit kami, dan juga tontonan wajib anak-anak di masa itu. Dora the Explorer dan Spongebob Squarepants. Keduanya tayang di Global TV (sekarang GTV), yang baru saja memperoleh hak siar kartun Nickelodeon.
Sayangnya, jam tayang Spongebob yang mendekati jam sekolah tak sempat kami tonton semua. Beruntung, ayah sering membelikan DVD kompilasi Spongebob untuk kami tonton. Jadi, tak perlu takut tertinggal acara.
Bagaimana dengan akhir pekan? Jangan tanya, banyak acara anak-anak! Stasiun televisi RCTI dan Indosiar menyediakan tayangan anak dari jam 05.00 hingga 11.00, kebiasaan yang sudah dilakukan sejak 90-an. Kartun favorit saya di hari Minggu adalah Doraemon, membuat saya masuk #TeamRCTI. Adik saya suka nonton Dragon Ball dan Power Rangers, #TeamIndosiar. Tak jarang kami rebutan remote hanya karena hal sepele ini.
Spacetoon di Sore Hari
Sebagai siswa sekolah dasar, jam belajar di sekolah saya termasuk lama dibanding siswa sekolah lain. Jika siswa sekolah lain masih sempat pulang untuk makan siang, saya baru bisa pulang jam 14.00. Jam 15.00, ada acara kesukaan saya di televisi. Motivasi saya untuk cepat pulang sekolah membumbung tinggi, dan sangat cemas jika acara favorit sampai terlewat.
Buat yang penasaran 15.00 ada acara apa, ada Di Gi Charat Nyo yang tayang di kanal Spacetoon. Ceritanya berkisah tentang seorang bernama Dejiko yang dibuang ke bumi karena perilaku buruknya. Di sinilah saya bertemu dengan karakter favorit saya, tentu saja karakter utamanya. Saking sukanya dengan karakter ini, saya meminta teman saya untuk menggambar karakter tersebut, secara gratis tentunya. Kemudian, saya memajang gambar tersebut di lemari dengan bangganya.
Tiga tahun kemudian, saya membuang gambar tersebut karena malu.
Di Gi Charat Nyo masuk dalam kategori Zomoroda, kartun khusus anak perempuan. Cowok menyukai kartun cewek masih tak lazim di tahun 2007. Saya sering diejek “feminim” dan “gak laki” di sekolah. Lihat saja lima atau enam tahun lagi, mereka yang mengejek saya dulu sekarang sudah punya waifu. Ha!
Internet yang Masih Damai
Bicara nostalgia tahun 2007, Internet hanya tersedia untuk mereka yang berduit. Modem untuk berinternet harus terhubung dengan telepon rumah. Jika Internet menyala, telepon tak bisa digunakan. Kecepatan? Tidak fantastis, hanya 56 kbps. Mengunduh film biru Jepang butuh waktu berminggu-minggu, bahkan sebulan lebih. Alasan kuat kenapa pikiran saya masih bersih di masa itu.
Terlepas dari pikiran yang bersih, Internet yang masih lemot di masa itu membatasi hal-hal yang bisa saya lakukan di sana. Internet hanya digunakan untuk mencari bahan tugas di Google dan Wikipedia, tidak lebih. Friendster? Masih belum cukup umur. YouTube? Mustahil.
Pada masa itu, komputer di rumah masih merupakan barang baru. Kami baru memilikinya di akhir tahun 2006. Masih terkait dengan disiplin, ayah hanya membatasi waktu main kami selama satu jam tiap orang. Lewat jam main, harus gantian dengan adik.
Meskipun tidak ada Internet, kami dapat terhibur dengan komputer baru itu. Tukang komputer sudah mengisi komputer kami dengan berbagai jenis game, terutama game dari GameHouse dan PopCap. Jika bosan dengan satu game, tinggal main game lain. Ada Feeding Frenzy, Diner Dash, Bejeweled, Plants vs Zombies, Chuzzle, Bookworm Deluxe, Typer Shark, dan game yang dipilih dalam turnamen e-Sport bapak-bapak, Zuma.
Ponsel, Sarana Hiburan Alternatif
Di tahun di mana iPhone masih seumur jagung, Nokia adalah rajanya ponsel, dengan Sony Ericsson di posisi kedua. Ponsel hanya dimiliki oleh kalangan SMP ke atas, hal yang menjadi privilese ketika saya sudah mendapatkannya semenjak kelas 3 SD. Ponsel tidak boleh dibawa ke sekolah, takut hilang atau disita. Lagipula, sudah ada supir yang menjemput.
Ponsel saya pada masa itu adalah Nokia 7610. Sering disebut “Nokia ketupat”, ponsel tersebut termasuk canggih pada masanya. Layar warna, kamera 1,3 MP, dan keypad numerik. Biasaya, saya menggunakannya untuk bermain game seperti Prince of Persia, Asphalt 2, Duke Nukem 3D, dan Sonic. Ponsel ini juga bisa memutar lagu via aplikasi Ultra MP3, dan memutar video 3GP dengan RealPlayer.
“Mau lagu Indonesia, Barat, atau Mandarin?”, ujar petugas konter hape saat saya datang ke sana. Konter hape menjadi tujuan utama ketika ingin mengisi game atau lagu baru. Karena lagu dan game ini berbayar (bayar ke konter hape maksudnya), menghapus game dan lagu adalah hal tabu. Masalahnya, memori ponsel di masa itu hanya 128 MB atau 256 MB. Terpaksa, beberapa game dihapus untuk mengisi game baru jika memori sudah penuh.
Berhubung pengisian pulsa elektrik belum terlalu stabil di masa ini, voucher pulsa yang digosok dengan koin menjadi pilihan utama. Pulsa Rp 20.000 saja cukup, toh sekadar untuk telepon atau SMS saja. Pulsa Rp 100.000 hanya untuk businessman!
Nostalgia 2007, Benarkah Indah?
Dua belas tahun setelah semua kisah di atas terjadi, semuanya sudah berbeda. Pendidikan formal sudah selesai, saatnya berhadapan dengan realita, mencari uang sendiri. Terkadang, terbesit pikiran ingin kembali menjadi anak kecil lagi, menyesali keinginan naif masa kecil yang ingin cepat dewasa.
Meskipun demikian, ada satu hal berharga yang 2007 tak bisa menyediakan, pertemanan tanpa batas. Dulu, teman saya hanya sebatas teman sekolah dan teman les saja. Tak jarang, teman yang dekat di jarak tidak baik di hati. Bullying menjadi makanan sehari-hari sampai lima tahun ke depan. Beruntung, saya menemukan pelarian berupa media sosial. Teman-teman di sini lebih baik dibanding teman-teman di sekolah pada masa itu, meskipun mereka jauh di mata.
Seiring waktu, saya tak bisa terus menerus terkurung dalam pelarian. Di sinilah saya menyadari arti dari kedewasaan. Bukan dari usia, melainkan dari tingkah laku. Apapun tantangan yang berada di depan, harus dihadapi, tak boleh lari lagi.
Akhir kata, nostalgia memang indah, mengingat sesuatu yang telah lama hilang. Sayangnya, waktu tak bisa terulang.