Pada artikel sebelumnya, telah dijelaskan bahwa hak cipta komik di Indonesia baru dimulai sejak ketidakhadiran Indonesia dalam Konvensi Bern. Hal ini berdampak pada pandangan masyarakat terkait hak cipta. Selain itu, di artikel sebelumnya juga telah dijelaskan keberhasilan komik Indonesia yang menjadi tuan rumah di negerinya sendiri pada tahun 1960an dan 1980an dengan terbitnya karya-karya klasik seperti Si Buta dari Gua Hantu dan Gundala. Sayangnya, memasuki era 1990an, komik Indonesia meredup dengan datangnya saingan dari negeri matahari terbit, yaitu manga. Perkembangan manga menjadi intens pada kurun waktu berikutnya dan berhasil menerbitkan seri yang ikonik dan dikenang oleh warga Indonesia diantaranya adalah Kung Fu Boy, Doraemon, Detective Conan, dan masih banyak yang lainnya.Lantas, apa yang membuat hal seperti ini terjadi?
Penyampaian unik dan sederhana hingga lahirnya komikus beraliran manga
Apa yang membuat manga bisa sukses diantaranya adalah cerita. Pasalnya, selama menjadi tuan rumah di negara sendiri, komik Indonesia yang terkenal hanya berkutat pada cerita pendekar dan mistis, sehingga kurang memberikan bumbu bagi pembaca yang mulai bosan dengan model kisah seperti itu. Seketika, datanglah manga sebagai anomali di tengah pasar komik Indonesia.
Kisah anak SD dan robot kucing dari abad 20, pencarian tujuh bola naga dibaluti nuansa kisah perjalanan ke barat, dan masih banyak lagi. Dari segi premisnya, sudah cukup menarik, bukan? Modal cerita yang tak biasa tapi menarik seperti inilah salah satu formula turunan yang masih dilestarikan para mangaka Jepang. Dibarengi dengan gaya gambar yang sederhana, manga dengan cepat mencuri perhatian masyarakat, meninggalkan komik Indonesia yang makin lama terpuruk hingga mati suri.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah rubrik khusus manga cetak. Pada kisaran tahun 2000an awal, banyak manga terbitan Indonesia yang masih menerjemahkan bagian tersebut seperti manga Rave karya Hiro Mashima, Samurai Deeper Kyo karya Kamijiyo Akimine, dan masih banyak lainnya. Jika ada manga terbitan Indonesia yang masih menerjemahkan rubrik khusus, mungkin hanya One Piece dengan SBS-nya yang digunakan sebagai tempat tanya-jawab pembaca dengan Eiichiro Oda. Rubrik khusus tersebut biasanya ada berbagai macam, diantaranya adalah berisi salam dari mangaka kepada pembaca, rubrik berisi fanart, berisi kuis dan rubrik yang berkaitan tentang proses pembuatan manga.
Untuk rubrik tentang pembuatan manga biasanya berisi pengenalan alat yang digunakan sang mangaka dalam membuat komik. Dimulai dari topik seperti pensil hingga kertas untuk menuangkan idenya, rubrik tersebut menjadi berharga bagi mereka yang ingin membuat komik sendiri. Demi menyamai kualitas seperti komik kesukaan mereka, alat menjadi suatu senjata andalan bagi komikus yang ingin berkarya dan dengan adanya rubrik semacam ini, seolah mengisyaratkan bahwa sang mangaka memberikan βcontekanβ agar bisa menyamai diri mereka.
Rubrik khusus yang tak hanya berisi soal alat, tapi juga berisi fanart menjadi hal lain yang mampu membangkitkan niat menggambar agar bisa dimasukkan dalam komik cetak. Dengan menyatukan berbagai faktor di atas, kita dapat melihat betapa menariknya manga sehingga, lahirlah komikus lokal beraliran manga yang sejak tahun 2010an ke atas mulai menguasai pasar domestik yang akan dijelaskan di bagian berikutnya.
Pengaruh promosi dan distribusi bagi Manga dan Komik Indonesia
Faktor berikutnya adalah promosi. Hal ini nyatanya absolut dalam menjual produk tapi dalam perkembangan Manga dan Komik, Ini sangatlah krusial dalam meningkatkan minat di masyarakat. Di atas telah disebutkan bahwa komik Indonesia sempat mengalami mati suri, tapi itu tidak sepenuhnya benar. Keberadaan mereka masih ada hanya saja, berjalan sendiri alias indie tanpa adanya promosi dan dukungan dari lingkungan terkait. Menurut Hans Jalarada, komikus Panji Tengkorak, komik lokal dapat bangkit kembali jika dibantu dengan promosi oleh media lain seperti televisi, media cetak, maupun radio.
Tambahan lain juga dikemukan oleh Chris Lie, komikus serta pendiri Re:On Comics. Dirinya berpendapat perkembangan komik Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi kepada penghargaan terhadap karya yang telah diterbitkan. Tak luput pula, Masalah terkait perlindungan dan pembinaan hak cipta dan distribusi menjadi cara agar komik bisa berkembang baik di negaranya. Seperti halnya Chris Lie, Gerdy WK menyatakan keprihatiannya pada komik Indonesia melalui faktor distribusi. Pengarang komik Gina ini menyatakan kelemahan pada distribusi dan penerbitan. Penerbit banyak yang mendahulukan komik luar dibanding lokal dengan dalih pasar yang lebih luas dan menguntungkan. Hal ini sangatlah disayangkan, melihat betapa butuhnya dua faktor ini dari pihak penerbit untuk mengembangkan komik lokal ke tahap yang lebih baik.
Seperti yang sempat dinukilkan oleh Gerdy di atas, penerbit banyak mendahulukan komik luar. Kenapa? Tentu saja karena permintaan pasar yang cukup tinggi dan promosi anime. Meski tidak secara langsung dinyatakan oleh pihak penerbit, penayangan anime yang dilakukan oleh stasiun televisi swasta termasuk dalam faktor perkembangan ini. Banyaknya anime pada tahun 90an hingga 2000an menciptakan peluang yang makin terbuka lebar untuk mendistribusikan manga kepada masyarakat: kanal televisi melalui siaran anime dan penerbit melalui distribusi komik. Keduanya saling melengkapi satu sama lain hingga memudahkan akses bagi masyarakat untuk menikmati seri kesukaan mereka seperti Doraemon dan Detective Conan.
Keragaman gaya gambar dan penceritaan komik Indonesia
Gaya gambar Manga yang telah kita ketahui datang dari bapak Manga itu sendiri yaitu, Osamu Tezuka. Penggambaran karakter yang sederhana tanpa blocking berlebihan dan penggambaran mata besar yang menjadi trademark hingga kini adalah perkembangan yang dilakukan Osamu dari gaya gambar kartun khas Amerika, terutama Disney. Dari awalnya sangat mirip seperti kartun Disney, lama kelamaan gaya Manga mendapatkan bentuknya dan telah mengolongkan diri sendiri menjadi satu gaya gambar yang padu, yaitu 'gaya gambar manga'. Dengan adanya konsistensi dalam gaya gambar, khalayak dapat mengidentifikasikan mana komik Jepang dan Barat.
Sayangnya, hal ini tidak berlaku pada komik Indonesia. Sejak masa jayanya, Indonesia selalu meniru dalam hal gaya gambar. Contohnya saja, pada masa jayanya, komik yang beredar seperti Si Buta dari Gua Hantu dan Gundala memiliki gaya gambar beraliran realisme seperti komik barat yang pada masa itu tengah booming di negara-negaranya. Perbedaan komik lokal dengan barat hanya terletak pada latar tempat dan cerita yang disesuaikan dengan keinginan masyarakat. Karena masyarakat berkembang, gaya gambar komikus lokal pun ikut berkembang. Setelah lewat masa jayanya dan memasuki masa modern ini, gaya gambar manga mulai marak di pasaran dan tentu saja masih dengan sentuhan yang lekat dengan masyarakat kita seperti Komik Tawur karya C. Suryo Laksono dengan tema tawuran pelajar, Grand Legend Ramayana dan Garudayana milik Is Yuniarto dengan tema perwayangan, tapi dikemas lebih menarik untuk pembaca remaja.
Gaya gambar lain yang juga diadaptasi komikus lokal sejak pertama hingga saat ini adalah kartunis. Yang ini lebih luas lagi dalam pelaksanaannya, namun pakemnya cukup bisa dimengerti. Karakter biasanya digambarkan kepala besar dengan badan kecil atau proporsi yang dibuat seabsurd mungkin. Dari sisi kartunis sendiri, banyak juga menelurkan seri dengan tema yang lekat pada masyarakat seperti Si Juki, yang awal pembuatannya berfokus pada kehidupan mahasiswa.
Jika ditanya, apa gaya gambar Indonesia? Tidak dapat diidentifikasikan. Bisa aliran realis, manga, ataupun kartunis. Keragaman seperti ini mungkin membuat kita tak bisa menyatakan seperti apa jati diri komik Indonesia yang sebenarnya tapi bisa disamakan dengan semboyan negara kita, berbeda-beda tetapi tetap satu.
Seniman Indonesia mampu mengadaptasi gaya gambar apapun tanpa perlu terikat pada identitas yang telah dikembangkan oleh negaranya karena sejak awal memang tidak ada. Dengan hal ini, komikus lokal mampu menciptakan pasar mereka sendiri dengan berbagai macam gaya gambar dan penceritaan yang beragam, tak hanya berkelut pada aliran manga sehingga mampu memenuhi standar pembaca dari berbagai kalangan. Heterogenitas seperti inilah sebuah nilai tambah untuk membangun kancah komik lokal ke tahap lebih baik.
Komik lokal, nyatanya, sudah beranjak dari keadaan mati suri dan perlahan tapi pasti, menarik minat pembaca terutama, pada kalangan muda. Apa yang sudah disampaikan di atas, semuanya telah dilakukan dan hasilnya nyata dengan adanya bukti dari AKSI (Asosiasi Komik Seluruh Indonesia), dimana sekitar 23.000 komikus (amatir dan pro) menerbitkan karyanya di Webtoon dan 17.000.000 orang menjadi pembaca digital platform hijau tersebut. Luar biasa, bukan? Dengan mempertahankan faktor yang telah dijabarkan serta menjalankannya dengan baik, bukanlah tidak mungkin komik lokal bisa kembali menjadi tuan di negerinya sendiri.