Pandemi yang mengikat seluruh dunia tidak terasa telah dua tahun lamanya. Banyak orang dibuat jenuh akan seluruh kegiatan yang dilakukan di rumah.
Di tengah hal itu, ada sebuah fenomena yang terbilang mengherankan terhadap para penggemar yang biasanya semangat dalam mendukung "oshi"-nya (sosok yang menjadi favoritnya), entah itu karakter virtual atau pun dunia idol.
Hal ini timbul setelah beberapa acara luring mulai berkali-kali ditunda yang menghilangkan rasa motivasi bagi penggemar untuk menjadikan alasan dalam mendukung kegemarannya lagi dan kejadian ini terus meningkat dari waktu ke waktu.
Bagaimana Fenomena Ini Bisa Terjadi?
Sebelum memasuki bahasan fenomena ini, apa yang melatarbelakangi kejadian tersebut dapat timbul dan meningkat?
Dalam pokok bahasan ini, terdapat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Departemen Psikologi Universitas Jindal yang dirancang untuk membandingkan individu yang rentan terhadap kebosanan tinggi dengan mereka yang terlibat seperti aliran interaksi, kesadaran, dan kesepian selama periode lockdown di masa pandemi yang tengah berlangsung.
Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara rawan kebosanan dan kesepian dan hubungan negatif yang signifikan dengan aliran interaksi dan perhatian terhadap suatu individual yang menyiratkan bahwa pengalaman kebosanan dan kurangnya interaksi secara langsung dapat meningkatkan keadaan kesepian dari seseorang.
Selama individu menerapkan pembatasan interaksi sosial, peneliti Wanja Wolf dan Corinna Martarelli menyimpulkan bahwa dengan memanjangnya durasi pembatasan pandemi, kebosanan akan semakin meningkat dengan kontrol pribadi yang berbanding terbalik yang akan menurun.
Jika seseorang dipilih untuk mempertahankan salah satu variabel seperti kebosanan, akan muncul sebuah perubahan perilaku yang berujung kepada kesepian dan lainnya menyebabkan penerapan akan pula semakin terasa sulit. Sebaliknya, jika kontrol pribadi yang akan dipertahankan, lama-kelamaan perilaku akan berusaha untuk menolak menerapkannya pembatasan sosial yang dinilai sesuatu yang membosankan di mana dapat memutus ketaatan penerapan pada pandemi.
Banyak orang memilih mempertahankan variabel pertama dengan konsekuensinya mengalami kebosanan di mana kondisi yang stagnan yang berlangsung selama pandemi di mana kegiatan minim interaksi dilakukan secara berulang-ulang menyebabkan kondisi yang disebut oleh para peneliti sebagai dopamine detox.
Walaupun dalam artinya adalah melepas kesenangan untuk beristirahat, tetapi dalam hal ini lebih dikaitan terhadap berkurangnya intensitas kebahagiaan seseorang terlepas dari apakah individu tersebut menikmati atau tidak menikmati masa-masa pandemi sebagai gejala perubahan dari perilaku seseorang.
Pada akhirnya, kedua hal itulah yang dapat mengarah terhadap hilangnya minat dalam melakukan sesuatu sebagai pemicu munculnya depresi dan menurunnya kesehatan mental seseorang. Dari sinilah menjawab alasan munculnya fenomena Oshitsukare (harfiah: Lelah dalam Mendukung Oshi) yang mulai ramai dirasakan orang-orang.
Oshitsukare: Fenomena Baru
Dampak dari kehilangan minat dari pandemi inilah yang mengawali fenomena Oshitsukare yang dirasakan oleh seorang pria 30 tahun di Jepang yang merasa bahwa ketertarikannya terhadap anime, gim, dan seiyu telah berlangsung bertahun-tahun lamanya di mana sebelum pandemi, dia sering membeli album foto dan CD lagu seiyu yang digemari, bahkan mengikuti acara temu sapa.
Namun, memasuki masa pandemi, semangatnya sebagai seorang penggemar tetap terus berlanjut meskipun beberapa acara secara luring telah dihentikan oleh pihak penyelenggara dan perlahan dialihkan kepada acara daring berbayar. Semakin waktu berlangsung, dia merasakan bahwa semangatnya semakin menurun bahkan tidak seperti biasanya, dia hingga mengurungkan niatnya untuk membeli tiket acara seiyu yang sebelumnya menjadi rutinitas.
Dia menggambarkan kehilangan motivasi terhadap hobi dan kegiatan sehari-harinya sebagai rasa kelelahan mental. Tidak hanya itu, kekhawatiran atas penurunan gaji akibat pembatasan kunjungan toko mode di mana tempatnya bekerja juga menjadikan salah satu alasan lainnya. Bahkan dampak dari Oshitsukare atau dopamine detox ini dirinya merasa tidak yakin bahwa akan kembali bergairah sebagai seorang penggemar seperti masa sebelumnya.
Berdasarkan kisah pemuda inilah, sebuah pengumpulan data dilakukan untuk mencari tahu apakah gejala yang dirasakan seperti seorang pemuda tersebut dirasakan pula oleh penggemar lainnya.
Didapati dari hasil wawancara, tiga penggemar menghabiskan banyak waktu dan uang untuk acara atau merchandise sebelum pandemi, tetapi merasa lelah karena kurangnya acara tatap muka sehingga banyak penggemar setia seiyuu/karakter anime/idol telah mengurangi atau kehilangan minat dalam aktivitas mereka karena pengurangan acara langsung secara langsung akibat pandemi.
Salah satu contoh lainnya dari hasil wawancara tersebut adalah seorang pemuda berusia 20 tahun yang merupakan penggemar berat idol dan juga sebagai pekerja kantoran. Selama masa pandemi, dia merasakan pula dampak dari Oshitsukare di mana ia menonton banyak live streaming dan konser idol, tetapi ia mengeluhkan bahwa merasa kesepian saat menonton sendiri. Sekarang, rasa semangatnya untuk terhubung baik dengan antarpenggemar atau dirinya dengan idol mulai hilang dan sulit untuk kembali menjadi bersemangat.
Hal yang sama juga dirasakan narasumber ketiga berusia 20 tahun-an yang juga merupakan penggemar yang sebelumnya sering mengikuti konser langsung, membeli cendera mata saat sebelum pandemi berlangsung.
Namun, setelah pandemi, dia mengalami kebosanan dan sering bergumam bahwa apakah dirinya selaku penggemar sudah terpuaskan atau merasa bahagia yang merupakan retorika bagi dirinya yang tentu belum mencapai keduanya merasa bahwa dirinya bingung untuk mencari sesuatu yang dapat menyenangkan dirinya ketika hal-hal seperti menjadi penggemar, menonton film hingga membaca buku belum juga menyenangkan bagi dirinya.
Oshitsukare sebagai Tanda Penyakit Mental?
Selain itu, dari ketiga narasumber yang diwawancarai terdapat satu kutipan yang dapat digambarkan yaitu, "Saya sudah berusaha keras (sebelum wabah COVID-19), tetapi saya tidak lagi membodohi diri sendiri" atau "saya memang menikmati hal-hal yang saya gemari, tetapi saya justru kehilangan semangatnya dan sekarang saya tidak tahu apa yang harus dilakukan," bahkan kesamaan dari keluhan narasumber pertama dan kedua adalah tidak adanya interaksi saat melakukan kegemarannya sehingga menimbulkan rasa bosan hingga kesepian.
Pada akhirnya, mereka yang merasa kelelahan itu telah mendorong diri mereka sendiri dengan melebihi batas kewajaran yang mereka dapat lakukan di rumah yang tentu berbeda ketika melakukan aktivitas di luar dengan interaksi yang masif sehingga mengarah kepada kejenuhan akibat melakukan segala aktivitas dengan kondisi lingkungan yang sama bak terkurung dapat terhubung untuk rawan akan kebosanan dengan kesepian sedemikian rupa sehingga orang yang bosan menjadi sedih, dan kesedihan ini selanjutnya menyebabkan depresi, yang menyebabkan perlambatan waktu dan kurangnya energi atau hilangnya minat untuk melakukan sesuatu.
Namun, apakah Oshitsukare ini merupakan fenomena kehilangan minat akibat efek dari kebosanan yang dapat dikembalikan atau tidak, masih perlu adanya pengembangan lebih lanjut yang terfokus pada masalah ini.
Jika ditinjau dari masalah yang serupa, hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Wang (2018) mendukung pengamatan bahwa penggunaan waktu yang bijak mengurangi kebosanan sekaligus membiarkan diri sendiri terus menerus bosan selama waktu luang di mana rasa hilangnya minat dan motivasi melakukan sesuatu dapat kembali setelah pola pikir bahwa kegemaran bukanlah kewajiban yang menuntut, serta dengan melepaskan sejenak untuk rehat akan memulihkan kembali kelelahan tersebut.