Premis dari anime Kaguya-sama: Love is War sebenarnya sederhana: mereka yang pertama kali menyatakan cinta adalah mereka yang kalah.
Maka dalam perkembangannya, tiap interaksi digambarkan sebagai konflik. Kaguya dan Shirogane sama-sama memegang premis tersebut dengan erat, bahkan di banyak kasus mereka saling memahami konsekuensi dari masing-masing tindakan—dan prediksi atas apa yang akan dilakukan pihak lain harus tepat. Dalam kasus-kasus yang ditampilkan dalam episode-episode awal, tampak bahwa kemenangan satu pihak didefinisikan dengan kekalahan pihak lain. Kemenangan total, oleh karena itu, ditentukan tidak dari diri sendiri tetapi apa yang dilakukan orang lain. Oleh karena itu cara-cara rasional yang dapat diambil adalah dengan mempengaruhi pihak lain.
Konsep Prisoner’s Dilemma dapat mengilustrasikannya, kita ambil contoh dari kasus di episode pertama, ketika Chika datang dengan dua tiket film ekstra:
Lalu, kita analisa seperti ini:
Posisi ideal tentu (A). Namun, dikarenakan adanya kemungkinan Kaguya atau Shirogane untuk mendapatkan pencapaian (kemenangan atau kepuasan) pribadi tertinggi (B/C), maka yang kemudian terjadi adalah keputusan yang tidak mencapai potensi tertingginya, berada dalam ekuilibrium Nash (D).
Dinamika kedua kekuatan besar dalam anime ini, Kaguya dan Shirogane, adalah perwujudan dari self-fulfilling prophecy: perkiraan yang membuktikan dirinya sendiri. Gestur yang diberikan Kaguya akan diterjemahkan oleh Shirogane sebagai kemungkinan terburuk, dan ia pun akan melakukan gestur antisipasi yang sama. Maka tidak ada kemajuan—yang terjadi adalah stalemate.
Padahal, mendekati episode pungkasan, mereka mulai sadar bahwa kepentingan tertinggi adalah kebersamaan. Penting bagi keduanya untuk bersama; dalam hal ini, kemenangan satu pihak yang dicirikan kekalahan pihak lain yang menyatakan cintanya dahulu tak berarti pihak itu juga memiliki perasaan ambivalen. Keduanya sama-sama menganggap kebersamaan sebagai suatu hal yang ideal, namun permasalahannya sama: setiap gerakan Kaguya bisa jadi dieksploitasi Shirogane, dan sebaliknya; setiap langkah yang keliru akan memberi kesan ketergantungan dan kelemahan bagi pihak yang salah melangkah.
Jelas bahwa ada tujuan yang lebih tinggi dari keduanya daripada narasi yang ditunjukkan dalam anime ini, yang dibangun oleh masing-masing pihak. Lalu mengapa Kaguya dan Shirogane tetap bertahan pada posisinya masing-masing? Saya akan mengajukan satu hal: bahwa kedua partisipan terlalu bertahan dengan premis ‘mereka yang menyatakan cintanya pertama, kalah’ sampai pencapaian yang lebih tinggi diabaikan.
Dalam perspektif ini, setiap asumsi mendasar yang dipegang kedua pihak harus ditengok ulang. ‘Menyatakan cinta pertama kali sebagai kekalahan’ tidaklah turun dari langit: ia ada sebab kedua pihak menyepakati hal tersebut. Kalau misalnya, dan baiknya, mereka berpikir lebih sehat dan mengarah menuju kebaikan bersama, harusnya asumsi-asumsi ini direkonstruksi.
Maka, kedua pihak kali ini harus melihat ulang apa yang hilang ketika mereka mengambil tindakan. Ketika Shirogane merasa bahwa ‘meminta ID LINE berarti menyatakan ‘aku ingin berbicara denganmu’’ yang hilang adalah fakta bahwa hampir pasti skenario terburuk itu tidak akan terjadi—dan seiring jalannya anime, ‘kemungkinan terburuk’ (possibility) semakin menjauhi ‘apa yang mungkin terjadi’ (probability)
Perkembangan di setiap episodenya menunjukkan bahwa sebenarnya keduanya sudah memulai prasangka-prasangka buruk tersebut. Bagaimanapun juga, kalau tetap ngotot memperkirakan segala skenario, capek juga bagi mereka sendiri. Di paruh kedua season ini, muncul perubahan pada satu isu yang diangkat saat episode pertama—‘I wouldn’t mind if she/he confessed to me’—berubah menjadi ‘Why isn’t she/he confessing to me?’
Tetapi sampai episode pungkasan, bahkan setelah skenario heroik yang sempat terjadi diantara mereka berdua, kalkulasi tindakan berdasarkan kemungkinan terburuk itu masih tetap saja ada. Banyak kesempatan dimana mereka dapat memikirkan ulang ‘permainan’ ini, atau muncul dengan rencana yang lebih canggih, tapi lebih diplomatis dan moderat.
Maka status quo pun kembali. Yah, bagaimanapun juga, kalau mereka berhasil menyelesaikan masalah mereka, ceritanya juga akan berakhir.
Sampai resolusi terjadi, mari berharap Yu Ishigami masih bertahan hidup. Perannya didefinisikan sebagai pihak yang tertarik pusaran konflik yang tidak ia inginkan, sedang dalam konflik sosial biasanya yang benar-benar apes adalah pihak lain yang terseret-seret. Ia yang disitu hanya untuk menghitung keuangan organisasi terjebak di antara permainan dua makhluk pintar yang berusaha untuk menumbangkan satu sama lain—kalau tidak hati-hati, nanti dia sendiri yang tumbang.
Artikel ditulis oleh Naufal H.