Salah satu isu yang menjadi dinamika perwibuan Indonesia adalah sekelompok kecil orang yang terus-menerus merendahkan acara—dan juga penggemarnya—yang dianggapnya rendah mutu. Sikap kelompok kecil yang menggebu-gebu dalam menunjukkan ketidaksenangannya terhadap beberapa anime atau idol ini bukanlah hal baru, dan sudah lama ada.
Penulis masih ingat saat-saat dimana serial Fate pertama kali dilayarlebarkan dan bagaimana tanggapan negatif dari penggemar lama bermunculan dimana-mana. Sikap kaum fanatik seri ini disebut elitisme, dan mereka yang memiliki sifat ini disebut elitis.
Mengenal Elitisme dan Snobbisme
Istilah elitisme lahir beberapa abad silam, di mana masyakarat masih terbagi kelasnya, antara aristokrat-ningrat dengan rakyat biasa. Elitis adalah kaum yang terlahir dengan status sosial sebagai bangsawan, merasa memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan rakyat biasa. Tidak hanya itu, istilah yang sering digunakan sekarang, plebeian, sebenarnya merupakan panggilan untuk rakyat jelata pada zaman Imperium Romawi.
Dari kesenjangan sosial di atas, lahirlah snobbisme, sebuah sikap di mana seseorang mengidentifikasikan dirinya sebagai “kelas atas”, meskipun mereka bukan bagian dari kelas tersebut. Sikap ini disebabkan oleh dua hal:
- Keinginan untuk bergabung dengan kelompok sosial dengan status yang lebih “wah”, atau ikut dalam kelompok yang sama dengan idolanya.
- Keinginan mengeksklusifkan diri—di mana orang-orang yang tak secerdas dia, yang gaya hidupnya tak seelegan dia, tak boleh bercampur dengan dirinya.
Snobbisme ini juga biasanya diidentifikasikan dengan orang-orang dengan gaya hidup yang mewah atau sok elegan, yang sering mencibir dan merendahkan mereka yang tak sebagus dirinya. Istilah kekiniannya, panjat sosial.
Elitisme dalam Perwibuan
Dua hal inilah yang juga mendasari kelakuan snob di abad ke-21 ini, seperti snob kopi yang rajin protes jika kopinya kurang kental, atau snob musik yang terus-menerus mengeluh musik indie kesukaannya didengarkan banyak orang. Dalam dunia pop kultur Jepang, kita mengenal beberapa contoh seperti komunitas Fate, atau orang-orang tua yang menonton anime mecha lama.
Sikap keinginan identifikasi dan eksklusivitas ini dapat kita gunakan untuk memahami sikap para “wibu elitis” yang bertebaran di media sosial. Ada elitis Fate yang kesal dan mengeluhkan betapa bodohnya orang-orang yang menonton Fate/UBW terlebih dahulu sebelum Fate/Zero. Ada pula keluhan tentang kultur moe yang menghancurkan kultur anime yang mereka pandang sebagai maskulin, keren dan sarat makna, seperti serial-serial anime 80 dan 90-an.
Tindak Tanduk Elitis Anime
Bagaimana kita dapat memahami penyebab kekesalan dan perbuatan mereka?
Sekali lagi: keinginan untuk mengidentifikasi diri terhadap suatu komunitas, dan keinginan komunitas tersebut untuk menjadi eksklusif. Dalam kasus TYPEMOON, kita dapat melihat banyak orang yang mengidentifikasikan dirinya dengan keunikan selera mereka, yang didapat dari menggemari visual novel jaman lawas yang jarang diketahui orang. Para elitis ini mendapatkan prestise dari status mereka sebagai penggemar dari franchise yang berkualitas tetapi sedikit peminat, menandakan diri mereka mempunyai “selera bagus”. Keinginan untuk eksklusivitas itu ditandai dengan keengganan mereka untuk setara dengan “fans murahan” yang dianggap “asal menyukai” dan tidak memiliki pengetahuan mendalam seperti mereka. Singkatnya, para elitis yang “cerdas” ini tak sudi disamakan dengan fans murahan yang “pemalas”.
Dalam contoh kasus yang lebih umum, seperti keluhan suatu kelompok terhadap kultur moe dan “drama”, terdapat nostalgia dan kebanggaan tersendiri. Mereka merasa tontonan mereka lebih berkualitas, dengan alur yang lebih padat dan jarang diwarnai oleh klise. Mereka menganggap serial moe, “drama”, dan fan service sebagai penyebab tingkah laku rendah mutu dan reaksi murahan “fans baru”. Dari sinilah kita akan mendapati mereka yang menonton anime aksi atau mecha lawas yang dianggap berkualitas dan berkelas tinggi. Para elitis ini mencibir mereka yang menyukai fanservice “murahan” dari “anime zaman sekarang”, sebagaimana aristokrat Romawi mencibir tingkah rakyat jelata.
Elitisme dan Snobbisme Tanpa Sadar
Dalam ajaran eksistensialis, manusia yang mencari makna dalam diri dimaknai sebagai keinginan untuk “berada” dan menempatkan posisi dirinya relatif dengan dunia sekelilingnya. Maka Anda tak perlu heran lagi atas keinginan banyak orang untuk mengidentifikasikan diri, meskipun dalam hal kecil seperti elitisme wibu ini. Mengingat semua orang mempunyai kebutuhan pemaknaan diri, maka kita semua sejatinya mempunyai elitisme dengan skala yang berbeda-beda. Banyak dari kita yang mencibir penggemar sinetron yang dianggap lebih tidak bermutu daripada penggemar anime, atau K-Popers yang dianggap selera musiknya lebih jelek dari mereka yang mendengarkan J-Pop. Padahal selera tidak dapat dibandingkan, kan?
Tulisan ini adalah opini pribadi dari penulis, tidak mencerminkan pandangan umum Risa Media. Penulisan oleh Muhammad Naufal Hanif.