Pembajakan, pembajakan ini tak ada habisnya.
Ranah jejepangan di Indonesia kembali mendapatkan ancaman nyata. Baru-baru ini, sekelompok orang kembali terjerat kasus hukum dikarenakan merekam film anime No Game No Life di bioskop. Sebagai konsekuensinya, CGV Cinemas Indonesia selaku bioskop penayangan film terpaksa menunda penayangan Fate/kaleid Liner Prisma Illya Yukishita no Chikai di Indonesia.
Warganet mulai panas. Banyak yang menyayangkan kasus ini, berharap agar film anime di Indonesia tidak di-blacklist karena ulah segelintir orang. Banyak yang kemudian memburu dan mencela tersangka sejadi-jadinya. Tidak sedikit pula mereka yang membela pelaku, berkilah bahwa masih banyak orang yang melakukan hal yang sama.
Terlepas dari reaksi warganet, kasus ini kembali menyisakan satu pertanyaan besar: Kenapa kasus pembajakan film masih sering terjadi di Indonesia, meskipun telah hadir berbagai cara untuk menontonnya secara legal?
Alasan 1: Mahal
Alasan ini adalah alasan yang paling klasik. Meskipun harga menonton tiket bioskop sudah lebih terjangkau (Rp. 30.000 – Rp. 60.000), harga ini masih dirasa mahal untuk sebagian orang, dan itu pun belum termasuk biaya transportasi, parkir, dan konsumsi. Mereka lebih memilih untuk membeli kuota Internet dan mengunduh filmnya secara ilegal.
Alasan 2: Jauh
Bagi kalangan pecinta jejepangan, CGV Cinemas Indonesia (dulu dikenal dengan nama Blitz) adalah salah satu bioskop yang sering menayangkan film anime. Pada awal kemunculan Blitz di tahun 2012-2014, banyak warganet menuntut agar film anime juga turut ditayangkan di XXI dan 21, saingan utama Blitz. Hal ini tentunya masuk akal, dikarenakan Blitz pada masa itu hanya tersedia di kota-kota besar, sedangkan XXI dan 21 telah menancapkan pengaruhnya lebih dulu di pelosok daerah.
Kondisi ini tentunya disadari oleh Blitz. Menggandeng perusahaan teater asal negeri ginseng, CGV, Blitz berganti nama menjadi CGV Cinemas Indonesia, berekspansi ke kota-kota di Jawa dan luar Jawa. Hal ini dilakukan agar pencinta jejepangan di daerah dapat menikmati film anime secara mudah dan legal.
Terlepas dari segala kemudahan yang ada, pembajakan film masih saja terjadi. Banyak pembajak film yang menganggap aksinya sebagai “tugas yang mulia”, menjadi “pahlawan” bagi mereka yang tidak dapat menontonnya secara langsung di bioskop.
Alasan 3: Panjat Sosial
Sebagian besar orang Indonesia menyukai segala hal yang berbau kekinian, tidak terkecuali pecinta jejepangan. Bagi mereka, menonton serial dan film anime terbaru adalah sebuah kebutuhan, cara agar mereka dianggap gaul dan lebih diterima di kalangannya. Tak jarang mereka membuktikannya dengan memotret dan mengunggah foto tiket film yang mereka tonton, menebar spoiler di media sosial, dan yang terparah, merekam filmnya secara langsung.
Sayangnya, tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Bagi mereka yang tidak dapat menontonnya secara langsung, mereka dapat membeli DVD film resminya, yang baru akan rilis beberapa waktu setelah hadir di layar lebar. “Beberapa waktu” adalah waktu yang lama, dan mereka tidak sabar menunggu. Mereka lebih baik mengunduh versi bajakannya di ranah maya, atau menunggu “kebaikan” dari mereka yang menonton di bioskop untuk merekamnya.
Merekam film di bioskop, selain ilegal, sebenarnya juga merugikan perekam. Mereka sulit menikmati tiap adegan dan percakapan yang terpampang di layar lebar, karena fokus mereka terpecah untuk memegang gawainya sembari merekam. Mereka juga menderita kerugian secara finansial, karena hal yang seharusnya mereka bayar untuk dinikmati, malah dibagikan secara cuma-cuma untuk masyarakat luas.
Apa Akibatnya?
“Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.”
Peribahasa ini kembali relevan untuk kasus ini. Ulah sejumlah orang yang merekam jalannya film anime di bioskop dapat berakibat fatal. Penundaan film anime Fate terbaru adalah salah satu tandanya. Jika pembajakan terus berlanjut, maka distributor film akan jera menayangkan filmnya di Indonesia.
Ancaman ini bukanlah gertak sambal belaka. Beberapa bulan lalu, ODEX Private Limited, distributor film anime di Asia Tenggara, kembali mendapati perekaman film anime Sword Art Online:Ordinal Scale, Kuroko no Basket, dan No Game No Life di bioskop Malaysia dan Singapura. Sebagai hukumannya, beberapa film anime yang sudah diumumkan dibatalkan penayangannya di negara tersebut.
Di Indonesia, merekam film di bioskop dapat dikategorikan sebagai pembajakan dan bersifat ilegal. Menurut UU no. 28 tahun 2014, pembajakan dapat berakhir dengan hukuman penjara, terlepas dari motif pelaku, umur pelaku dan durasi rekamannya. Sebut saja kasus di tahun 2016, seorang SPG harus berurusan dengan pihak berwajib karena ulahnya merekam film Warkop DKI Reborn. Alasannya yang “hanya iseng” tidak dapat menyelamatkannya dari jeratan hukuman.
Terus Saya Harus Gimana?
Agar kasus serupa tidak lagi terulang, marilah kita menghargai karya industri kreatif dengan menonton filmnya secara resmi. Alat pemotret dan perekam haram hukumnya digunakan di dalam bioskop, begitu pula dengan menyebarkan rekaman tersebut di media sosial. Jika Anda berada di daerah yang tidak dijangkau bioskop, tetap dukung kreator dengan membeli DVD resminya, meskipun harus menunggu lama.
Jika Anda mendapati orang lain tengah merekam di bioskop, lapor kepada petugas keamanan, dan biarkan mereka yang memproses pelaku dan menghapus berkasnya. Jangan main hakim sendiri, karena hal ini hanya akan memperpanjang masalah.
“Perekam emang salah sih, tapi bioskopnya aja yang lebay!”
– salah satu warganet
Sebelum Anda berpikir bahwa kasus ini hanya akal-akalan bioskop untuk meraup lebih banyak keuntungan, ingatlah bahwa film yang anda tonton juga merupakan hasil kerja keras para tim kreator. Mereka bekerja siang malam demi menghasilkan karya yang berkualitas, dan mereka jugalah yang pantas mendapatkan hasil dari penjualan tiket film, selain pihak bioskop, distributor, dan produser film. Mendukung pembajakan sama saja dengan merebut hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Pembajakan memanglah hal yang kompleks dan penuh pro kontra. Satu hal yang pasti, meneruskannya hanya akan merugikan semua pihak pada akhirnya.
Tulisan ini adalah opini pribadi dari penulis, tidak mencerminkan pandangan umum Risa Media. Penulisan oleh Excel Coananda.