Pada April lalu, pemerintahan telah menetapkan sebuah aturan baru terkait karya seni musik yaitu, penggunaan lagu akan dikenakan biaya royalti. Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu atau Musik pada 30 Maret 2021 lalu. Artinya, Bagi yang ingin menggunakan lagu akan dikenakan biaya tertentu dan biayanya diberikan kepada mereka yang memiliki hak atas lagu tersebut. Dengan terciptanya peraturan baru ini, pemerintah berusaha mendorong agar hak cipta lebih dipandang berharga di kalangan awam dan mampu membantu hak ekonomi para penggiat seni.
Dengan adanya berita ini, seluruh penggiat seni bisa merasa senang dan lega karena akhirnya ada kemajuan dalam usaha pegiat seni Indonesia untuk mendapatkan hak mereka, meskipun baru mencakup musisi. Meski tak disebutkan secara langsung, komik pun termasuk di dalamnya. Meski kerap dipandang sebelah mata, karya seni berupa gambar bernaratif ini memiliki sejarah panjang di negara ini dalam perkembangannya. Baik itu dari segi penerbitan komik luar di Indonesia hingga lahirnya komik karya ciptaan tangan orang Indonesia itu sendiri
Sebuah asosiasi telah didirikan sebagai bentuk wadah untuk pengembangan komik Indonesia, yaitu Asosiasi Komik Seluruh Indonesia atau disingkat AKSI. Dalam postingan Facebook mereka, Dijelaskan bagaimana industri kreatif berbasis gambar bernaratif ini tak hanya sekedar hiburan semata, tapi juga merupakan peluang usaha yang menjanjikan. Berikut adalah grafik yang ditunjukkan AKSI terkait konsumsi komik di Indonesia. Dengan jumlah sebesar ini, Komik sudah menunjukkan dirinya sebagai industri kreatif yang menjanjikan.
Meski sudah memiliki faktor yang luar biasa seperti ini, ada hal yang masih perlu diperhatikan. Berbeda dengan sektor musik, sektor komik masih memiliki sebuah permasalahan yang menjadi penghalang bagi tumbuhnya industri kreatif satu ini. Apakah itu? Tentu saja dan teramat jelas adalah Pengetahuan akan Hak Cipta atau yang akan lebih ditekankan dalam artikel ini ialah, HAKI (Hak Kekayaan Intelektual).
Lahirnya Hak Cipta dan Dampak Ketidak Ikut Sertaan Indonesia pada Konvensi Bern
Tak dapat dipungkiri, dalam diri masyarakat negara ini kurang menaruh perhatian pada penggunaan kekayaan intelektual sebuah karya dengan menggunakan dalih yang cukup menyebalkan yaitu: “Untuk apa?”. Contohnya bisa kita lihat sejak dahulu seperti penerbitan komik secara illegal oleh oknum yang tak bertanggung jawab dan penyelipan kekayaan intelektual komik luar pada komik terbitan dalam negeri. Hal seperti ini menunjukkan bagaimana minimnya pengetahuan kita atas konsep HAKI atau Hak Kekayaan Intelektual.
Menurut wikipedia, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak yang timbul dari hasil olah pikir yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Dalam dunia komik, HAKI adalah hal lumrah yang sering didengar apalagi saat terjun ke bidang industrinya langsung. Dengan menggunakan konsep HAKI, Sang komikus yang menciptakan karakter dan seluruh setting di dalamnya sudah memiliki hak mutlak atas kekayaan intelektual yang diciptakannya. Hak cipta sendiri adalah akar dari sesuatu yang lebih besar lagi bernama HAKI ini.
Lantas, bagaimana masyarakat kita bisa tak peduli pada masalah seperti ini? Jika ingin mengetahuinya, kita perlu menelisik lebih dalam pada sejarah Indonesia semasa penjajahan Belanda dulu karena, peran mereka tak pernah lepas dari segala hal yang telah berkembang di negara kita ini bahkan, termasuk komik dan HAKI.
Konsep Hak Cipta itu sudah lama ada di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, konsep ini memiliki nama berupa Auterswet yang diatur pada ketentuan Auterswet tahun 1912 Stb. No. 600 di negara Belanda melalui asas konkordasi. Sejak abad pertengahan, negara yang mengadopsi asas civil law merespon keras tentang bagaimana pemerintahan monarkis memonopoli penerbitan di ruang publik dengan konsep copyright. Konsep Hak cipta tercetus untuk melindungi hak dari para pencipta sebagai bagian dari pengaturan hukum. Agar lebih kuat, Sebuah konvensi pun dilaksanakan oleh negara pemegang asas tersebut yang diberi nama Konvensi Bern.
Indonesia harusnya memiliki kesempatan untuk bisa ikut dalam konvensi ini karena masih dalam naungan Belanda kala itu sayangnya, hal ini gagal terwujud. Melalui keputusan yang didorong kabinet Juanda pada tahun 1958, Indonesia menyatakan takkan bergabung karena alasan utama yang menyangkut pada belum terbentuknya peraturan domestik tentang Hak cipta itu sendiri.
Alhasil ketidakikutsertaan Indonesia dalam konvensi ini, membuat negara tidak mengikuti regulasi hak cipta oleh negara barat yang menjadi tuan rumah konvensi tersebut atau dengan negara lain yang menyetujui kerja sama di dalamnya. Pemanfaatan kekayaan intelektual, kreatif, inisiatif properti dalam bentuk apa saja dari luar negeri, bisa dengan bebas kita gunakan tanpa perlu membayar atau memikirkan tentang royalti sepeserpun. Hal ini lantas mendarah daging dan menjadi momok tersendiri bagi Indonesia hingga saat ini.
Tak ada aturan penerbitan hingga karya ilegal yang fenomenal
Komik luar negeri seperti komik Amerika ataupun Jepang masih bisa terbit di Indonesia dengan peraturan yang bertahan kala itu, meski belum diatur lebih signifikan. Padahal dalam menerbitkan suatu karya, haruslah melewati proses bertahap yang tak sedikit serta cukup rumit di dalamnya. Tetapi karena Indonesia belum mengatur lebih dalam, komik luar negeri diterbitkan dengan improvisasi yang cukup nyeleneh.
Mereka didistribusikan dengan mengadaptasi gaya lokal agar bisa terelevansi dengan para pembaca. Jika sering membaca komik jadul, Tak jarang ditemukan penyelipan nama produk sebagai bentuk adaptasi tersebut. Tentu sebagian dari kita tak asing dengan "Nobita yang gagal masuk UGM", salah satu contoh lain adalah komik Akira karangan Katsuhiro Otomo yang tak luput dari improvisasi nyeleneh ini, dimana pada beberapa panelnya terdapat peletakan nama penerbit dan toko buku lokal.
Efek berkelanjutan dari penerbitan ini juga berdampak pada perkembangan komik Indonesia. Pada awal perkembangannya, banyak komik superhero lokal yang memiliki trademark mirip dengan beberapa superhero asal Amerika. Demi tak terlihat serupa, diadaptasilah komik tersebut dengan nuansa ala Indonesia agar bisa diminati pembaca dalam negeri karena relevansinya. Meski begitu, ini bukanlah hal buruk karena mereka malah menciptakan suatu kekayaan intelektual orisinil dan menjadi batu loncatan bagi masa depan komik Indonesia. Dari sini, masalah terkait penggunaan kekayaan intelektual sudah terjadi tapi dilakukan secara tersirat agar tak menimbulkan kontra.
Terkait hal itu, ada penggiat seni yang menyadari kejanggalan tersebut dan mencetak karya yang ahead of its time dalam ranah gambar bernaratif ini. Betul, beliau adalah Tatang Suhenra atau biasa disingkat Tatang. S. Pria kelahiran Bandung ini, muncul dalam perindustrian komik Indonesia saat tengah mencapai masa jayaannya di kisaran tahun 60-70an dengan menelurkan karya komik yang tak lazim. Karyanya cenderung berunsur parodis dari seri yang sudah tenar dan didistribusikan secara cuma-cuma. Jika Tatang. S masih berkarya hingga kini, beliau bisa disejajarkan dengan seorang Doujinka.
Kefenomenalan pria ini didapatkan melalui karyanya yang menyentil komikus Indonesia kala itu dengan keleluasaan mereka berkarya dan penggunaan kekayaan intelektual komik luar negeri. Dengan menggunakan Petruk, Karakter punakawan yang selalu jadi protagonis dalam ceritanya, Tatang kerap membuatnya mengenakan kostum superhero Amerika secara blak-blakan tapi, menghadirkan nuansa cerita yang relevan dengan Indonesia seolah menyindir halus komik superhero Indonesia kala itu yang sedang dalam puncaknya. Tak hanya karakter superhero Amerika, Tokusatsu seperti Kamen Rider Black RX juga kena getahnya.
Yang paling fenomenal, ketika Tatang menciptakan komik si Gagu dari Gua Hantu dengan menghadirkan tokoh Si Buta karya Ganes TH sebagai antagonis. Lewat doujinshi ini, Sosok Si Buta digambarkan sebagai pemimpin komplotan perampok yang jahat. Tatang berusaha mengkritik Ganes yang dianggap melakukan pelanggaran perjanjian dalam penerbitan karyanya pada penerbit yang menaunginya. Para komikus Indonesia merasa geram akan hal ini dan merasa Tatang berusaha menyiarkan kebencian pada Ganes dengan mencemarkan nama baiknya melalui karya.
Berkat sindirannya ini, Tatang terpaksa harus berurusan dengan hukum dengan alasan mencemarkan nama baik Ganes TH. Meski begitu, lantas tak membuat dirinya berhenti berkarya. Di kemudian hari, Tatang akan lebih dikenal sebagai pencipta komik horor yang tenar pada era 90an masih dengan karakter Petruk dan punakawan lainnya. Tapi jauh sebelum itu, beliau sudah lebih dulu menciptakan karya yang bisa membuat komikus Indonesia kala itu geram dan tepok jidat atas sikapnya.
Dari kasus Tatang ini, kita dapat bercermin bahwa penggunaan kekayaan intelektual secara sembrono sudah ada sejak lama dan mendarah daging dalam kehidupan bangsa ini. Memang ada sisi baik dimana terciptanya pasar komik buatan orang Indonesia sendiri yang berkembang hingga sekarang Tapi kita tak boleh mengabaikan sisi buruknya yaitu, kurang menghargai suatu karya. Dampak dari tidak ikutnya negara pada konvensi Bern seperti dinukilkan di awal telah membawa kita pada kurangnya perhatian kepada nilai penggunaan suatu karya, membuat para penggiat seni terkadang enggan ingin berkarya di tanah sendiri tapi, itu adalah kisah silam.
Saat ini, negara tengah berbenah dan memberikan peluang bagi para pegiat seni, termasuk komikus, untuk mendapatkan hak ekonomi yang layak mereka dapatkan serta mempertahankan hak kekayaan intelektual atas ciptaan mereka sendiri. Semua ini agar para pegiat seni tak hanya berani, tapi juga bisa menjadi tuan rumah dalam berkarya bagi dirinya sendiri.