2019 menjadi tahun yang bersejarah untuk Jepang. Pasalnya, Pangeran Naruhito akan naik menjadi kaisar baru Jepang, menggantikan ayahnya, Kaisar Akihito yang sudah uzur. Pergantian kaisar ini kembali membuka pertanyaan besar bagi keluarga kekaisaran. Siapa yang nantinya akan menjadi kaisar sesudah Naruhito? Apakah kekaisaran Jepang yang tidak terputus selama 2600 tahun akan segera punah?
Mengenal Tahta Krisan
Jepang adalah salah satu negara tertua di dunia dengan tradisi monarki yang berkelanjutan sejak zaman Kaisar Jimmu di tahun 660 SM. Saat ini, jabatan kaisar dipegang oleh kaisar ke-125, Kaisar Akihito (Heisei), dan akan segera digantikan oleh putranya, Naruhito (Reiwa). Kekaisaran Jepang juga sering dijuluki Tahta Krisan (Chrysanthemum Throne), berasal dari tahta kekaisaran bernama sama di Istana Kekaisaran Kyoto.
Sejak Restorasi Meiji di tahun 1868, sistem penerus kekaisaran Jepang meniru model ala Prusia (sekarang Jerman). Dalam sistem ini, hanya laki-laki yang berhak menjadi kaisar. Perempuan anggota kekaisaran yang menikah dengan orang biasa akan dinyatakan keluar dari keluarga kekaisaran, sekaligus melepas status penerus tahta untuk dirinya dan keturunannya.
Berikut ini adalah silsilah keluarga kekaisaran Jepang semenjak kaisar Taisho (1879-1926), anak dari Kaisar Meiji. Setelah Kaisar Taisho meninggal dunia, Hirohito, anak tertuanya, naik tahta menjadi Kaisar Showa. Pada zaman inilah, Jepang mengalami kekalahan di Perang Dunia II, membuat peran kaisar diturunkan oleh Amerika Serikat, negara yang sempat menduduki Jepang pascaperang.
Kaisar Showa memerintah lama hingga wafatnya di tahun 1989, menjadikan anaknya, Akihito sebagai Kaisar Heisei. Akihito mempunyai dua anak laki-laki, yakni Naruhito dan Fumihito, pangeran Akishino. Putra tertuanya inilah yang didaulat menjadi penguasa setelah ia mengundurkan diri di tahun 2019 ini.
Sulitnya Mencari Penerus Tahta
Masalah penerus tahta setelah pangeran Naruhito mulai muncul di tahun 2006, ketika perdana menteri Junichirou Koizumi hendak merevisi peraturan agar perempuan diperbolehkan menjadi kaisar. Ia menilai krisis ini sebagai masalah serius, mengingat pangeran Naruhito hanya mempunyai seorang anak perempuan, dan calon penerus lelaki lainnya sudah memasuki usia senja. Pangeran Akishino sudah berusia 41 tahun. Pangeran Hitachi, adik kaisar Akihito, sudah berusia 71 tahun dan tidak memiliki keturunan.
Di garis keturunan lain, ada Pangeran Mikasa, adik Kaisar Hirohito, yang kala itu sudah berusia 91 tahun. Ia memang mempunyai 3 anak laki-laki, namun satu sudah meninggal dan kedua lainnya juga sudah tua dan tidak mempunyai penerus lelaki sama sekali. Pada akhirnya, cabang ini pun punah di tahun 2016 dengan wafatnya Pangeran Mikasa di usia 101 tahun, menyusul kematian kedua putranya.
Secercah harapan muncul di akhir tahun 2006, ketika Pangeran Akishino akhirnya memiliki anak lelaki bernama Hisahito. Kelahiran Hisahito inilah yang akhirnya menunda perdebatan penerus tahta, meskipun krisis ini harus segera dituntaskan agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
Adanya krisis ini juga menarik perhatian rakyat Jepang. Dalam sebuah survei yang dilaksanakan, lebih dari 60% rakyat Jepang mendukung revisi undang-undang agar perempuan dibolehkan menjadi kaisar. Dari suara perubahan itu, sebagian besar menyetujui revisi itu sebagai bentuk emansipasi wanita dan kemajuan bangsa. Sebagian lagi menilai revisi perlu adanya untuk menghindari krisis keturunan seperti yang terjadi saat ini. Sebagian juga berargumen bahwa Jepang pernah mempunyai enam kaisar wanita dalam sejarahnya. Kaisar wanita terakhir, Go-Sakuramachi, memerintah Jepang di tahun 1762 hingga 1771.
Mereka yang Tak Setuju
Meskipun demikian, sejumlah masyarakat dan elit Jepang tidak setuju dengan wacana perempuan menjadi kaisar. Alasannya, penobatan wanita menjadi kaisar membuat keberlangsungan kekaisaran Jepang “tidak murni” lagi, memutus rantai penerus kekaisaran yang sudah berlangsung 2600 tahun lamanya.
Pangeran Tomohito, anak dari Pangeran Mikasa, mengusulkan alternatif lain, yakni menghidupkan kembali cabang keluarga kekaisaran yang tersingkir karena Imperial Household Law, sebuah undang-undang yang dibuat pada masa pendudukan Amerika Serikat tahun 1947. Kedua cabang tersebut adalah Shinnoke dan Oke, yang sengaja disiapkan jika suatu saat nanti cabang utama kekaisaran punah.
Shinnoke adalah cabang yang terlebih dahulu diciptakan, yakni pada zaman Kaisar Suko (1358-1351). Cabang Shinnoke sendiri kembali bercabang menjadi empat, tapi hanya satu yang bertahan hingga saat ini, yakni Fushimi-no-miya. Kepala cabang Shinnoke saat ini adalah Fushimi Hiroaki, yang saat ini sudah berusia 87 tahun dan seluruh anaknya perempuan. Meskipun demikian, beberapa saudara jauhnya masih mempunyai penerus laki-laki hingga saat ini.
Oke, atau biasa disebut Kyu-Miyake, adalah percabangan lain dari klan Fushimi-no-Miya. Cabang ini diciptakan oleh Fushimi Kuniye pada tahun 1836. Fushimi Kuniye memiliki 17 putra dari permaisuri dan selirnya, membuat cabang Oke kembali bercabang hingga 10 klan. Dari 10 klan yang tercipta, ada 6 klan yang berhasil bertahan, yakni Kuni, Kitashirakawa, Kaya, Asaka, Higashikuni, dan Takeda. Salah satu anggota cabang Oke yang terkenal adalah permaisuri Kojun, anggota klan Kuni yang kemudian menjadi istri Kaisar Hirohito.
Mengingat alternatif penerus yang disediakan berlimpah, sebagian elemen masyarakat menginginkan agar kedua cabang besar kekaisaran ini diperbolehkan kembali menjadi penerus kekaisaran. Meskipun demikian, sebagian masyarakat tidak menyetujui wacana ini, karena akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat akan kaisar barunya yang “entah datang dari mana”.
Apakah pendapat Anda dengan krisis penerus kekaisaran Jepang ini? Apakah Anda setuju membolehkan perempuan menjadi kaisar, atau lebih memilih untuk mengembalikan cabang Shinnoke dan Oke? Berikan komentar Anda di bawah.
Tulisan ini adalah opini pribadi dari penulis, tidak mencerminkan pandangan umum Risa Media. Penulisan oleh Excel Coananda.