Komunitas Jejepangan di Indonesia bukan merupakan satu organisasi yang tersusun rapi dengan strukturnya, ia terbagi ke dalam ratusan bahkan ribuan kelompok-kelompok spesifik. Dengan pemecahan yang spesifik tersebut, semuanya memiliki kesamaan yang mengkhawatirkan: kesibukan menanggapi drama dan skandal mingguan yang muncul di lini masa. Mulai dari komunitas cosplay yang mempermasalahkan uang atau mengkritik berlebihan cosplay orang lain sampai kasus tracing atau plagiat karya seni.
Namun, perlu diperhatikan bahwa kesibukan-kesibukan ini tak membuat suatu perkumpulan menjadi berkembang. Tendensi untuk menghabiskan waktu dan pikiran kepada suatu skandal hanya akan menghabiskan waktu dan pikiran kita. Jauh lebih merugikan dibanding kesenangan yang kita dapatkan.
Terdapat juga kecenderungan bagi drama untuk menarik lebih banyak–jauh dari yang diperlukan–orang daripada pembahasan-pembahasan lain, topik-topik lain. Akibatnya jelas: yang muncul adalah keributan yang melelahkan yang pada umumnya sama sekali tak menyelesaikan masalah utama.
Pembahasan akan bertele-tele tanpa contoh kasus. Mungkin apa yang akan saya tuliskan ini familiar untuk anda, dan saya akan mencoba meyakinkan anda bahwa hal-hal seperti ini tak perlu disebarluaskan dan diramaikan lagi.
Cosplay, Cosplay, Bagaimana Cosplay yang Benar?
Setiap ada drama baru di lini masa, saya berani taruhan bahwa kemungkinan besar drama tersebut datang dari komunitas cosplay. Namun, sub-bagian ini tak untuk menjelek-jelekkan mereka. Justru sebaliknya, bagaimana sebenarnya apa yang dibicarakan bisa dibahas dengan konstruktif tanpa menjadi snob yang pretensius.
Kemarin baru ramai: sejumlah cosplayer muncul di kanal televisi nasional untuk acara dangdut. Responnya beragam–sebagian di antaranya beracun. Mulai dari respon biasa (“Kenapa harus dangdut?” dengan “Lucu ya, kreatif”), yang keras (“Kamu tahu esensi cosplay nggak?” dengan “Ya biarin aja, yang protes iri ya?”), sampai yang beracun (“Nyari duit gitu amat mas?”)
Apakah ini soal argumentasi? Ya, setengahnya. Namun, sisanya adalah soal menjadi pretensius. Mengapa kita, dalam menanggapi drama-drama di komunitas cosplay, tak mampu membangun diskusi yang menambah pengetahuan semua orang alih alih bikin emosi semua orang?
Ditarik lagi ke belakang, kita melihat bahwa pembahasan yang tidak bermanfaat ini selalu berulang dan tidak menyelesaikan masalah.
Ketika suatu event menghasilkan skandal seks, misalnya, tentu saja pembahasan di sekelilingnya penuh dengan argumentasi kosong, sentimen yang tidak membantu (yang minta link), dan seringkali seksis (“ya memang cosplayer biasanya lonte, bro”). Akhirnya keributan yang berlangsung sama sekali tak membantu isi masalah, dan semua orang dirugikan: pihak pria mungkin masih menyesal sampai sekarang, pihak wanita masih buronan, serta semua orang jelas tak terbantu dengan skandal seks murahan yang tak menghasilkan pembicaraan konstruktif.
Selanjutnya adalah pelecehan seksual. Hal ini akan saya bahas di kemudian hari, tetapi singkatnya tak ada niatan kita untuk secara serius melindungi cosplayer Indonesia dari bahaya, alih-alih hanya menjadikannya obyek atau malah menganggapnya bahan lelucon.
Padahal di belahan dunia lain dan di komunitas hobi lain, pelecehan adalah hal serius. Ia harus dibahas, dan suatu kampanye harus dijalankan untuk mencegahnya–suatu perubahan mendasar harus didiskusikan dan didebatkan. Kita, tentu saja, tak mendapatkan itu. Kita lagi-lagi mendapatkan lelucon yang tidak berguna, merusak, atau sentimen-sentimen misoginis yang paling brutal (‘pakaiannya kayak lonte sih, bro’; ‘ya kayak gitu mengundang orang dong’; ’emang minta dipegang itu mah, gausah protes deh’; dan masih banyak lainnya).
Pembahasan-pembahasan seperti ini adalah argumentasi pendukung pertama saya bahwa kita harus menghindari drama dan menyuburkan diskusi. Keadaan komunitas lain tak lebih baik.
Dosa-Dosa Illustrator dan Hakimnya yang Paling Kejam
Ada banyak dosa yang dihitung “dosa kardinal” (cardinal sin) bagi para ilustrator. Tracing, plagiat, tidak mencantumkan sumber, minta commish gratis, dan dosa-dosa di bawahnya yang masih banyak. Proporsi tubuh tak sesuai, overseksualisasi, commish tidak dikerjakan, proyek yang tidak jadi, konten dewasa di pasar komik, dan lain sebagainya.
Sejak grup Facebook tracing mewabah (saya tak akan menyebutkan nama grupnya), hal-hal seperti ini sudah berkali-kali serta berhari-hari diributkan. Mengapa tak ada suatu diskusi komprehensif mengenai konsep intellectual property? Mengenai sifat dari fanart, yang misal, berbeda antara Amerika dan Jepang? Mengapa tidak ada bahasan tentang kasus-kasus populer seperti bagaimana Love Live! pernah menyatakan bahwa fan art tanpa lisensi adalah bentuk plagiat?
Para kaum “beradab”, hakim massa yang sudah pasti benar, cepat untuk datang ke lokasi dengan membawa palu gada mereka masing-masing, memukuli para terdakwa dosa-dosa ilustrator tadi. Kalaupun ada yang mencoba untuk mengedukasi, seringkali dengan nada pretensius dan tak sensitif terhadap konteks sosio-ekonomi orang lain. Mengapa Anda mengharapkan orang akan mengapresiasi industri baru yang perlu dibayar dengan mengata-ngatai mereka miskin dan kampungan karena tak paham konsep seni berbayar?
Drama seputar ilustrator bisa mengarah ke debat dan diskusi yang bisa menjadi sangat panas, tapi hal itu bisa dikendalkan agar jadi lebih bermanfaat. Saya kira hal itu lebih dibutuhkan daripada pembahasan yang tak jelas arahnya, diiringi misinformasi dan tidak ada niatan untuk menyelesaikan masalah.
Para Pembajak Proletariat vs. Para Pembayar Borjuis
Di ranah internet ini ada sub-sub lokal melawan usaha P***** yang berbayar. Sub-sub internasional melawan Netflix, torrent melawan Crunchyroll. Mangarock melawan komik fisik, di toko buku atau di tempat lain.
Di sini argumen tidak berguna makin jelas lagi. Di kolom komentar mereka yang mengkampanyekan konten berbayar, sentimen yang muncul adalah “emangnya semua orang punya uang kayak kamu” atau “kalau ada yang gratis kenapa bayar”. Di kolom komentar mereka yang mengampanyekan sumber gratis, sentimen yang muncul adalah “kalau miskin nggak usah nonton” atau “hargai usaha kreator lah”.
Kalimat-kalimat di atas menjadi tidak berguna karena semuanya benar. Banyak hal lain yang harus dibahas seperti: apakah fansub secara etis dapat dibenarkan? Bagaimana dengan fansub yang komersial? Apakah ada alternatif yang bisa diandalkan untuk konten-konten legal berbayar? Mengapa Jepang begitu tidak mau meraih pasar internasional dan digitalisasi, dan oleh karena itu apakah ada bagian kesalahan di mereka juga?
Lagi-lagi, seperti halnya contoh-contoh di atas, hal-hal ini harus dibahas secara luas dan intensif–kalau bisa seramai kasus F***d*****–tanpa pretensi. Fokus harus berada tak pada siapa yang punya uang, tetapi bagaimana kita bisa dan harus membantu para kreator Jepang sekaligus mengukur kemampuan finansial kita sendiri.
Event Jejepangan Seharusnya Bahagia
Tak jarang kenyataannya event Jejepangan akan menghasilkan lebih banyak drama dan omongan dibandingkan kebahagiaan yang dihasilkan. Ini, tentu saja, merupakan sifat dari program kerja itu sendiri, apalagi event mahasiswa. Hal-hal pasti akan diurus sampai tingkat teknis dan akhirnya menimbulkan perpecahan-perpecahan yang didebatkan secara intens.
Namun, sungguh banyak di antara kita harus setidaknya menahan diri atau berpikir ulang sebelum mengeluarkan pernyataan.
Dalam kasus acara di Yogyakarta beberapa tahun silam, banyak sekali pihak yang antusias untuk mengeluarkan unek-uneknya tanpa sekalipun memikirkan latar belakang masalah dan mengapa sumbangan suara mereka mungkin tak berguna (seperti mengajak boikot). Dalam kasus lain, seperti event SMA yang gagal karena oknum yang terlalu percaya diri, mengingatkan kita bahwa urusan event organizing tak hanya membutuhkan passion, tapi juga kompetensi.
Banyak hal yang telah dibahas dan unek-unek yang telah dikeluarkan. Saatnya membangun argumentasi yang lebih konstruktif dan berempati jika hal drama-drama lain seputar event naik kembali.
Kurangi Drama, Utamakan Diskusi
Dengan lini masa yang semakin melelahkan, tulisan ini adalah imbauan bagi semua penggemar subkultur Jepang untuk menahan diri sekaligus mengajak untuk melakukan pembahasan yang santai namun bermanfaat. Baik itu drama cosplayer, illustrator, dan masih banyak lainnya, ada banyak kesempatan agar setiap drama atau skandal tak berakhir begitu saja dan hanya membuang waktu, pikiran, hingga tenaga.
Tak semua drama harus dibahas. Saya juga tak menuntut komunitas Jejepangan di Indonesia tiba-tiba menjadi pusat studi dan forum diskusi yang serius. Setidaknya pada beberapa kasus, apalagi skandal seks, harus dihindari dan tak usah kita bahas dan kasus-kasus lain perlu diramaikan dengan hati-hati.
Sebab suatu basis penggemar dengan suasana yang buruk akan berdampak ke semua orang. Ada hal-hal yang perlu kita pikirkan ulang dan perbaiki, minimal dari diri sendiri, agar ke depannya hal-hal seperti ilustrator dalam mata pencahariaannya dapat lebih dipahami, cosplayer dapat menjalankan hobinya dengan aman, para kepanitiaan melancarkan event dengan bahagia, dan mengundang orang lain untuk turut serta mengekspresikan diri dalam lingkungan penggemar yang kondusif.
Bukankah kita semua pada awalnya pemula yang tak tahu apa-apa dalam hal Jejepangan ini?