Setahun terakhir, beberapa iklan bernuansa anime dari merek-merek terkenal bermunculan. Beberapa di antaranya adalah iklan Branz Mega Kuningan dan Pocari Sweat Bintang SMA sekitar bulan September 2019 lalu, kemudian Sasa Tepung Bumbu dan juga Khong Guan di bulan April dan Mei 2020 ini.
Reaksi wibu sudah bisa ditebak. Bersorak sorai dengan bangga, melihat para 'normies' sudah mulai menerima hobi mereka yang selama ini tak relevan. Banyak juga yang mengharapkan brand lain mengikuti langkah serupa, membuat iklan dengan gaya anime. Mereka semua optimis budaya perwibuan akan menjadi semakin lumrah di Indonesia ke depannya.
Melihat fenomena ini, penulis kembali berpikir. Kenapa tiba-tiba berbagai produk – baik yang terkait dengan perwibuan maupun tidak – berlomba-lomba membuat konten dengan gaya anime? Kenapa wibu-wibu ini bersorak sorai dengan bangga, padahal mereka jelas-jelas disuguhi sajian kapitalisme berkedok anime?
COVID-19, "New Normal" Bagi Periklanan Kita
Ya, virus corona memang menyusahkan. Orang-orang harus melakukan semua aktivitas mereka dari rumah. Berbagai konser dan festival anime pun turut ditunda, dijadikan acara online, atau dibatalkan sama sekali. Belum lagi puluhan serial anime tertunda atau dibatalkan karena corona.
Tim pemasaran produk – apapun barang dan jasanya – juga terdampak dari serangan wabah ini. Mereka yang biasanya menyewa influencer atau perekaman di luar, kini tak memungkinan karena norma baru work from home. Salah satu dari sekian opsi yang memungkinan dalam kondisi ini, ya membuat iklan animasi.
Unsur animasi dalam periklanan tanah air bukanlah hal baru. Namun, unsur animasi ini biasanya hanya digunakan untuk efek spesial saja. Di mata masyarakat, animasi – tak hanya yang bernuansa anime – selalu dipandang sebagai sesuatu yang tidak serius dan kekanak-kanakan, lagi-lagi sesuai dengan survei yang pernah kami jalankan.
Ya, wabah ini mungkin bisa jadi salah satu alasan iklan animasi dibuat. Namun, iklan live-action biasa masih mendominasi layar kaca. Lantas, apa pertimbangan sejumlah brand membuat iklan animasi? Kenapa harus style anime?
Wibu Terselubung dan Wibu Overproud: Alasan Iklan Bernuansa Anime Ada
Sewibu-wibunya manusia, suatu saat akan terjun ke dunia nyata juga. Bekerja, mencari nafkah, dan berkeluarga, sama seperti manusia-manusia lainnya. Sebagian menanggalkan hobi lamanya, tapi tak sedikit pula yang tak ingin melepaskan.
Coba lihat rekan kerja di kantor kalian, mungkin ada salah satu dari mereka yang suka menonton anime. Teman kuliah kalian yang gaul dan jantan itu, bisa saja menonton satu atau dua judul anime. Aktor terkenal sampai pejabat politik pun viral dan dielu-elukan hanya karena mereka hadir di festival anime.
Pada kenyataannya, perwibuan memang tak seekslusif itu. Banyak di antara kita, termasuk para pekerja, yang tak menunjukannya secara terang-terangan demi menjaga image dan menghindari stigma negatif tentang anime dan basis penggemarnya. Komunitas perwibuan Indonesia-lah yang justru membesar-besarkan fenomena ini sebagai sesuatu yang langka dan patut dirayakan, padahal sebenarnya biasa-biasa saja.
Euforia ini dipandang oleh tim marketing – yang kebetulan juga wibu terselubung – sebagai sebuah peluang. Iklan bergaya anime ini mampu menarik perhatian basis penggemar wibu yang kecil tapi militan. Mereka akan melihat ini sebagai tanda bahwa hobi mereka sekarang sudah terkenal, bahkan produk umum pun menggunakannya. "Para 'normies' sudah menerima perwibuan di masyarakat," ujar wibu-wibu yang kemudian memviralkan iklan yang berestetika itu.
Eits, Jangan Senang Dulu!
Dari sekian banyak wibu yang heboh, ada pula mereka yang skeptis. Mereka melihat iklan berbau anime ini hanyalah bagian dari pemasaran, dan target pasarnya adalah wibu yang overproud, mereka yang terlalu bangga akan hal sekecil apapun.
Bicara kata overproud, kata ini erat kaitannya dengan orang Indonesia pada umumnya. Mereka bangga setengah mati – bahkan sampai spamming – saat orang luar negeri membuat konten tentang Indonesia. Padahal, tidak semua orang luar ini benar-benar cinta Indonesia dan mendalami budayanya. Mereka hanya melihat kita, terutama yang overproud, sebagai bahan dari konten mereka. Padahal, hal-hal seperti ini adalah taktik pemasaran saja.
Analogi yang sama dapat diaplikasikan dalam tren iklan bergaya anime. Ya, sebagian staf di sana mungkin ada yang wibu. Tetapi, mereka hanya melihat kita sebagai target pasar, bukan benar-benar ingin mendalami kulturnya. Ide iklan bernuansa anime datang dari meja tim pemasaran dan humas, bukan dari keinginan membuat animasi a la Jepang.
Entah apa yang dibicarakan di rapat tim pemasaran di sana, atau pandangan mereka terhadap style anime, iklan yang mereka rilis terbukti berhasil: viral dan membuktikan bahwa perwibuan masih punya peluang. Setelah beberapa iklan lagi, perwibuan bisa saja menjadi relevan, dan bukan lagi dipandang sebagai suatu hal yang perlu ditutup-tutupi.
Keberadaan animasi ini juga turut mengangkat derajat industri animasi Indonesia. Para animator lokal dapat menyambung hidup dari karya-karya mereka, sembari melihat goresan tangan mereka hadir di layar kaca. Jangan lupa, harus dibarengi dengan peningkatan hak pekerja seni tentunya.