Ketika mendengar kata Korea, khususnya Korea Selatan, banyak hal indah-indah yang terbayang di pikiran kalian. K-Pop, drakor, webtoon, Korean BBQ, Tayo, teknologi tinggi, internet cepat, Samsung, kimchi, dan Korean BBQ. Tidak perlu diragukan lagi, Korea tengah menjadi pusat perhatian dunia dalam bidang pop culture, bahkan mengalahkan Jepang. Tampak indah, bukan? Tunggu sampai kalian mendengar istilah “Hell Joseon”.
Berasal dari nama dinasti yang bertakhta di Korea sebelum penjajahan Jepang, “Hell Joseon” merupakan sebuah kritik akan kehidupan sosial-ekonomi Korea yang bagai neraka, tersembunyi di balik glamornya K-Pop dan drakor. Berkaca pada kematian artis K-Pop Sulli, salah satu dari sekian banyak penyebabnya adalah neraka Korea yang keras ini.
Dari Sengsara Menjadi Macan Asia
Bicara soal Hell Joseon, tentu tak lengkap jika tak membahas soal sejarahnya. Bagaimana sosial-ekonomi Korea Selatan berkembang juga dapat ditelusuri dari kebijakan-kebijakan terdahulu.
Korea Selatan di tahun 1950 hingga 1960-an hanyalah negara miskin. Tanah dan bangunan hancur lebur akibat perang. Ekonominya masih tergantung pada pertanian, serta santunan dari Amerika Serikat. Namun, semuanya berubah saat presiden Park Chung Hee menjabat di tahun 1960-an. Ia mengeluarkan sebuah kebijakan yang membuat ekonomi Korea Selatan meningkat pesat.
Park Chung Hee mengundang para chaebol, sebutan untuk konglomerat bisnis besar di Korea Selatan. Para chaebol ini diberikan pinjaman besar dari pemerintah. Selain pinjaman besar, para chaebol ini juga diberikan hak istimewa untuk merambah ke berbagai jenis industri, dari tekstil, kimia, hingga manufaktur. Hasilnya berbuah manis. Ekonomi meningkat pesat, mengantarkan Korea Selatan menjadi Empat Macan Asia, bersama Hong Kong, Singapura, dan Taiwan. Nama-nama chaebol ini tentu tak asing lagi di telinga. Samsung, LG, Hyundai, Lotte, dan CJ (pemilik jaringan bioskop CGV) adalah beberapa contoh di antaranya.
Meskipun ekonomi meroket, kebijakan ekonomi yang mengutamakan perusahaan besar ini mengundang konsekuensinya sendiri. Hal ini erat kaitannya dengan Hell Joseon.
Sudah Keras Sedari Kecil
Bagi masyarakat Korea, pendidikan adalah segalanya. Pendidikan menjadi solusi untuk meningkatkan status sosial dan ekonomi keluarga. Sedari kecil, anak-anak Korea diajarkan untuk mendapat nilai dan ranking bagus, agar dapat bekerja di perusahaan ternama dan mampu menghidupi diri sendiri dan keluarga.
Secara pembagian kelas, sistem pendidikan di Korea dan Indonesia kurang lebih sama. Enam tahun SD (Chodeung hakgyo), tiga tahun SMP (Jung hakgyo), dan tiga tahun SMA (Godeung hakgyo). Siswa SMA di sana berangkat sekolah pukul 05.00, dan selesai pukul 16.00. Setelah sekolah, siswa masih harus belajar di sekolah atau perpustakaan hingga pukul 22.00. Kebiasaan unik ini dinamakan yaja, yang artinya “belajar sore mandiri”, dan beberapa sekolah malah mengharuskannya. Meskipun demikian, sejumlah sekolah tidak lagi mewajibkan yaja.
Belajar selesai? Belum! Siswa masih harus mengikuti hagwon, yang umum dikenal di Indonesia sebagai bimbel. Mengikuti hagwon tentunya tak murah, namun orang tua tak sungkan menghabiskan uangnya demi nilai bagus sang anak. Alhasil, siswa baru bisa tidur pukul 02.00, yang dalam artian mereka hanya sempat tidur 3 jam sebelum akhirnya bangun lagi untuk sekolah.
Kalau akhir pekan dimanfaatkan orang Indonesia untuk bersantai dan jalan-jalan, siswa Korea masih menggunakan waktu itu untuk belajar. Bagaimana tidak, demi masuk universitas elit mereka harus terus belajar sampai lupa caranya bermain. Sebagian lagi yang sudah tak tahan, memilih untuk mengakhiri hidupnya atau bermain game sampai kecanduan.
Kerja keras selama sekolah ditentukan dalam CSAT, yaitu tes masuk perguruan tinggi. Sekitar 60% dari hasil tes ini akan menentukan universitas sang siswa, di mana 40% dihitung dari hasil rapor. Universitas presitisus yang menjadi incaran adalah Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University.
Hidup Sesudah Kuliah, Lebih Berat Lagi
Setelah masuk universitas, mahasiswa baru belum bisa bernafas lega. Bagai pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”, saat kuliah sudah berat dan setelah kuliah juga demikian.
Saat mereka menjalani kuliah, mahasiswa lelaki dipanggil oleh negara untuk mengikuti wajib militer selama dua tahun. Ancaman dari tetangganya di sebelah utara menjadi alasan kuat budaya ini ada. Melewatkan wajib militer ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap negara.
Setelah lulus kuliah, mahasiswa yang baru lulus ini akan dihadapkan pada pilihan hidup, sama seperti manusia pada umumnya. Bedanya, mahasiswa Korea punya sedikit pilihan. Kerja keras yang dilaluinya selama ini membuatnya merasa pantas untuk bekerja di perusahaan-perusahaan besar. Gaji mereka besar, setidaknya untuk standar Indonesia, tetapi tidak untuk Korea Selatan dengan biaya hidup tinggi. Kembali lagi, perusahaan-perusahaan besar ini adalah chaebol. Sebagian chaebol ini masih perusahaan keluarga. Kalau tidak ada koneksi ke sana, jangan harap bisa naik pangkat. Gajimu akan segitu-segitu saja.
Sebagian dari kalian mungkin berpikir untuk membuka bisnis. Tapi kembali lagi, ada chaebol. Mereka sudah memonopoli berbagai aspek kehidupan, dan mereka punya hak istimewa. Makanan, media, teknologi, hingga militer, hampir semuanya dikuasai oleh chaebol. Kecuali kalau keluargamu memang benar-benar kaya, mungkin lain cerita.
Menjadi Artis K-Pop? Tidak Semudah Itu
Sampai pada titik ini, mungkin kalian berpikir. “Kalau pendidikan sesulit itu, kenapa tidak menjadi artis K-Pop saja?”. Sebagian anak muda Korea juga memikirkan hal yang sama, namun kenyataan yang ada tak sebanding dengan imej mewah dan terkenal di luar sana.
Untuk menjadi artis K-Pop, seseorang harus melewati agensi terlebih dahulu. Agensi inilah yang nantinya akan melatih dan mendanai para artis. Sebelum debut, mereka ditempatkan dalam “boot camp”, di mana mereka akan dilatih menyanyi, menari, dan kegiatan fisik lainnya. Mereka butuh waktu bertahun-tahun, bahkan terkadang hingga 10 tahun, hanya agar bisa debut. Tidak hanya itu, mereka harus membayar untuk boot camp ini.
Budaya Korea lekat dengan budaya Konfusius yang menjunjung tinggi kesempurnaan. Artis-artis ini harus tampil sempurna di hadapan penggemarnya. Kesempurnaan tidak hanya dari skill menyanyi dan menari, tetapi juga tampang. Salah sedikit saja, penggemar bisa mencaci maki sejadi-jadinya. Oleh karena itu, operasi plastik dan diet ekstrim menjadi hal lumrah, bahkan diwajibkan, agar sang artis tetap digemari.
Tidak hanya fisik yang dikorbankan, mental dan kehidupan pribadi juga harus dikorbankan jika ingin menjadi artis K-Pop. Artis-artis K-Pop ini terjebak dalam kontrak yang tidak adil. Mereka hanya mendapat sebagian kecil dari pendapatan mereka manggung dan membintangi iklan, sisanya diserahkan ke agensi. Kehidupan pribadi mereka benar-benar dipantau, termasuk urusan cinta. Mau mencoba keluar? Siap-siap membayar denda, dan dendanya tentu tidak murah.
Tekanan yang bertubi-tubi inilah yang membuat penyakit mental mewabah di Korea Selatan, terlebih mereka yang menggeluti dunia hiburan. Ditambah dengan budaya Asia Timur yang masih meremehkan penyakit mental, tidak heran tingkat bunuh diri di Korea Selatan terbilang tinggi. Kematian Sulli dan Jonghyun akibat bunuh diri menjadi bukti nyata kejamnya hidup di neraka Korea Selatan.
Keluar dari “Neraka”
Sekolah sampai dini hari, masuk kuliah bersaing keras, tengah kuliah wajib militer, lulus kuliah bersaing keras lagi. Begitulah Hell Joseon, kehidupan di Korea Selatan yang tertutup oleh gemerlapnya Gangnam. Di sana hanya ada kebosanan dan neraka. Hidup akan begini-begini saja.
Tidak ada cara lain untuk keluar dari neraka ini, selain pindah ke luar negeri. Negara-negara Asia Tenggara, salah satunya Indonesia, menjadi salah satu tujuan favorit mereka. Memang masyarakat Indonesia tidak semaju di sana, setidaknya kesempatan di negara ini masih terbuka lebar untuk siapa saja yang berusaha keras.
Rakyat Korea Selatan hanya bisa berkata: “Korea Utara dan Selatan sama saja, yang membedakan hanyalah gaya hidupnya.”
Menjadi yang terhebat dapat mengantarkan kalian menuju kesuksesan. Meskipun demikian, sempatkanlah waktu untuk menikmati hidup, apapun caranya. Kalau sudah lelah, jangan dipaksa. Ada kalanya jiwa ini butuh istirahat.