Spoiler keras dari serial anime Jibaku Shonen Hanako-kun!
Premis Jibaku Shounen Hanako-kun sederhana: kehidupan sehari-hari Yashiro Nene dengan setan kamar mandi yang ia temui suatu hari, Hanako (red: setelah ini 'Hanako-kun' berarti serial anime-nya, 'Hanako' berarti karaternya), bersama Minamoto Kou, tukang rukyah yang beralih jadi kawan.
Dengan premis yang sederhana itu, serial ini membawa unsur yang penting: memanusiakan karakter-karakternya, bahkan yang bukan-manusia sekalipun.
Sebab bagaimana serial ini menggambarkan makhluk-makhluk supranatural adalah dengan tidak menempatkannya sebagai 'hal yang lain dari manusia'. Kita sering melihat ini: setan-setan dan arwah penasaran itu pada dasarnya jahat, mereka berbeda dan tidak bisa akur dengan manusia, mereka 'lain', dengan alasan perilaku yang tak dapat dipahami manusia. Kita melihat penggambaran itu dalam layar kaca, media popkultur, atau program seram televisi lokal: setan ya setan, manusia ya manusia.
Hanako-kun tak akan sebagus itu jika ia menerapkan garis ini: manusia sebagai pahlawan yang baik, setan sebagai musuh yang buruk, dan perjalanan manusia membasmi setan demi dunia manusia yang lebih baik (seperti Kimetsu no Yaiba). Karakter dalam Hanako-kun justru sepakat bahwa manusia dan non-manusia bisa hidup berdampingan (Nene) atau setidak-tidaknya berubah pikiran bahwa tidak semua 'arwah jahat' itu 'jahat' (Minamoto bersaudara).
Cara serial ini memanusiakan karakternya yang bukan manusia tidak hanya dari fisik yang antropomorfis, tetapi juga dari latar belakangnya. Alih-alih menjelaskan perilaku supernatural sebagai 'tidak dapat dimengerti', Hanako-kun membebankannya pada manusia; Pertama, perilaku makhluk-makhluk ini adalah cerminan dari rumor-rumor yang beredar di kalangan manusia; Kedua, segala tindakannya adalah hasil dari masa lalu si arwah itu sendiri.
Karakterisasi dua-lapis ini memastikan bahwa segala hal di 'dunia lain' itu berakar pada 'dunia nyata. Sebagaimana berlaku di dunia nyata kita, rumor-rumor seperti itu seringkali memanifestasikan diri dalam bentuk apapun yang kita omongkan, oleh karena itu rumor horor seringkali kontekstual dan mengikuti perkembangan jaman. Selain itu, ia juga memastikan si arwah sendiri punya andil dalam apa yang ia lakukan, tidak hanya bergerak sesuai keinginan manusia.
Yako adalah contoh awal. Kerjaannya meneror mahasiswa datang dari dua aspek: rumor yang diubah dan ditanamkan oleh Tsukasa dan masa lalu ia yang selalu berusaha mengembalikan Misaki, manusia yang telah mati lama sekali. Tsukasa tidak sepenuhnya mengendalikan tindakan Misaki, ia hanya 'mengeluarkan sisi yang selama ini disembunyikan' dari Yako.
Dua contoh penokohan yang paling drastis ada di Mitsuba Sousuke dan Hanako itu sendiri, atau nama aslinya: Yugi Amane.
Mitsuba, Antara Ada dan Tiada
Mitsuba hidup sebagai murid biasa. Terlalu biasa, terlalu normal, sampai orang-orang lupa siapa ia — sebelum akhirnya ia tak lagi 'ada'. Mitsuba adalah seseorang yang kita temui di awal perkuliahan, di komunitas, di kelas kuliah umum, lalu kita dengan cepat lupa siapa dia, siapa namanya, apalagi di mana ia sekarang. Kalaupun ingat, Mitsuba adalah teman yang tidak pernah kita ketahui kehidupannya sekarang, sebab kita berpikir bahwa hal-hal tersebut tidak perlu atau tidak penting diketahui.
Maka Mitsuba pun tidak benar-benar 'ada' ketika ia hidup. Ia menjalankan hidupnya ke mana-mana sendiri, relatif tidak dikenal siapapun. Dan baginya, di dalam hatinya, ini sebenarnya masalah besar: suatu masalah yang tak bisa diubah sama sekali. Ia, dengan hobinya dengan kamera, mengambil foto di sekitar sekolah, bermimpi untuk memenangkan kompetisi fotografi — sebelum akhirnya meninggal dunia tiba-tiba.
Segala yang ia alami terbawa sampai setelah-mati. Ia seangkatan dengan Kou, dan pernah berkenalan dengan Kou sebelumnya. Tetapi, Kou sebagaimana murid lain di sekolah itu, begitu saja lupa siapa Mitsuba — bahkan setelah ia tidak ada. Meskipun begitu, Kou segera menganggap Mitsuba sebagai kawan. Ini sangat membahagiakan baginya, tetapi tidak cukup: ia ingin lebih, suatu yang tak lagi mungkin — menjadi manusia.
Maka ia menjelma amalgamasi arwah yang menyeramkan, penjaga boundaries No.3 yang baru, Mirrors from Hell. Dengan menginginkan kehidupan sekolah yang normal kembali, di antara teman-temannya, menjadi fotografer di kemudian hari, ia menjadi putus asa. Dan seperti mereka yang putus asa, motivasi dan penyemangat tidak lagi dibutuhkan daripada solusi pragmatis dengan ongkos apapun, tawaran dari Tsukasa yang diterima meskipun itu berarti membuatnya semakin jauh dari 'manusia' — dalam bentuk fisik maupun jiwa.
Adakah Temanmu yang Bercita-cita Jadi Astronot?
Yugi Amane seorang pembunuh. Untuk alasan yang belum terlalu jelas — baik di anime maupun manga — ia membunuh saudara kembarnya, Yugi Tsukasa. Dalam satu versi dunia yang menyenangkan, ia dan Tsukasa saling menyayangi satu sama lain dan hidup bersama bahagia. Tapi itu tak terjadi di versi dunia yang betulan.
Segala hal mengindikasikan prasangka Minamoto Teru, tukang rukyah yang lain, bahwa Hanako adalah contoh mengapa semua arwah jahat harus dibasmi. Ia seorang pembunuh berdarah dingin, yang menjadi makhluk gentayangan. Makhluk-makhluk seperti itu tak peduli lagi terhadap manusia, tiada simpati dan nihil empati.
Namun, Yugi Amane yang sama juga bercita-cita menjadi astronot. Ia sangat bersemangat membahas bintang-bintang di langit, konstelasinya, bulan, dan antariksa, ia menghabiskan malam untuk melihat bintang-bintang (ehem, Koisuru Asteroid). Ketika Apollo 11 mengantarkan manusia ke bulan, ia mendapatkan pecahan batunya yang kemudian ia berikan ke Tsuchigomori. Sebagai gurunya waktu itu (sekaligus penjaga boundaries No.4, 4PM Library), ia khawatir dengan Amane: ada indikasi ia dirundung dan dianiaya, meskipun ia tak mau menyebutkan siapa pelakunya dan memilih untuk ketakutan sendirian.
Tsuchigomori yang memegang rekaman masa lalu dan masa depan awalnya tak terlalu khawatir dengan Amane: setelah sekolah, Amane akan melanjutkan studi di bidang sains, lantas jadi guru di sekolah lamanya di bawah didikan Tsuchigomori. Setidaknya itulah yang seharusnya terjadi, kalau saja Amane tidak memotong hidup dan mengakhirinya di situ juga.
"Aku memutuskan bahwa aku tidak akan kemana-mana", katanya. Suatu indikasi keras — meskipun belum valid seutuhnya — adalah Amane bunuh diri, dan akhirnya menjadi Hanako.
Hanako, kini serupa hantu, dihantui masa lalunya, tindakan-tindakannya. Ia selalu diingatkan bahwa apapun yang ia lakukan tidak akan mengembalikan dirinya dan Tsukasa yang dulu. Ia juga tahu sepenuhnya bahwa ia dahulu telah membunuh seseorang. Ini bukan cerita untuk menjustifikasi tindakan itu: Hanako adalah orang pertama yang akan memberitahu bahwa ia keliru, membunuh adalah tindakan keliru, tidak bisa dibela dan jejaknya tak akan hilang setelah pertobatan paling kencang sekalipun.
Setiap diingatkan tentang kejadian itu, Tsukasa, yang dibunuh, malah akan tertawa, sedang Amane — kini Hanako — akan segera jatuh dalam depresi.
Pada setiap lembar, setiap kali pembaca (serta Nene dan Kou) tahu lebih banyak tentang Hanako, semakin terlihat jelas bahwa ia tak hanya serupa arwah gentayangan yang usil dan rajin melakukan hal aneh-aneh (seperti pada awal serial ini), tetapi suatu karakter yang telah dimanusiakan, dengan segala baik dan buruknya. Kita tahu ia dalam hatinya benar-benar peduli dengan Nene, bahwa ia juga bisa berempati, kadang-kadang cemburu, kadang-kadang egois. Ia membantu lain tak hanya dalan kerangka transaksional, dan mengatur tokoh lain tak dengan tangan besi.
Ia, singkatnya, manusiawi.
Mari Melihat Kembali Teman di Sisi Kanan dan Kiri Kita
Tidak, bagian ini tidak ditujukan untuk mengawasi teman anda yang berpotensi menjadi pembunuh saudaranya sendiri. Tetapi bagian mengawasinya benar: jika ada satu pesan moral yang didapatkan dari serial Hanako-kun adalah, arwah gentayangan tak akan membuat ulah kalau kita menjaganya ketika ia masih hidup.
Tetapi bagian ini juga tidak membahas soal arwah, setan, jin, atau hantu. Bagian ini membahas suatu yang nyata: penderitaan makhluk-makhluk hidup, seringkali berkepanjangan, dilanjutkan dalam fisik yang hidup dengan segala rasa sakitnya.
Sebab toh di dunia nyata ini kita tidak berkesempatan membantu orang ketika ia telah mati, sesedikitnya tidak secara langsung. Kita berkesempatan untuk membantu orang ketika ia masih berada di samping kanan dan kiri kita yang masih berjuang: untuk menjalankan hobinya, membangun kisah cintanya, atau untuk bertahan menghadapi kesewenang-wenangan dan untuk bertahan hidup.
Kita bisa memulai dengan tidak memperilakukan teman kita seperti murid Kamome Gakuen memperlakukan Mitsuba. Ini sering terjadi: teman yang hanya sekilas kita kenal, lantas tidak kita pikirkan, terkucilkan dalam setiap pertemuan dan kesempatan, untuk kemudian hanya terdengar sesekali, sayup-sayup di telinga kita.
Meskipun itu, ini bukan ajakan untuk tiba-tiba khawatir dengan semua orang dan merangkul semuanya, sebab itu bukan kapasitas kita. Kapasitas kita adalah mengecek mereka yang sepertinya tak punya kawan, yang selalu sendirian, tiada yang tahu dan tiada yang paham. Tak perlu sok kenal, sekadar mengetahui siapa ia, apakah ia punya masalah, dan apakah masalahnya dapat dibantu, sudah cukup. Hal-hal lain adalah urusan setelahnya.
Kita juga baiknya melihat jika ada teman kita yang ternyata sedang terperangkap dalam lingkaran kekerasan, seperti Amane. Jangan-jangan ada teman kita yang selama ini diancam, dianiaya, dirundungi, dipukuli, dan tak perlu sampai membantu — jangan-jangan kita tidak tahu teman kita sedang dalam bahaya.
Ada banyak yang bisa lakukan. Bikin jejaring untuk menjaga keamanannya, canangkan safe space baginya untuk berekspresi, jauhkan dirinya dari unsur-unsur membahayakan dan jika perlu hilangkan pihak-pihak berbahaya itu dari hidupnya. Singkatnya: bentuklah sebuah solidaritas.
Kalau anda punya hobi, selalu bagus untuk mengajak orang lain atau merangkul mereka yang sebenarnya punya hobi yang sama namun takut atau belum punya kawan, seperti Mitsuba dan fotografinya, Amane dengan astronominya. Banyak dari mereka yang punya masalah hidup menggantungkan keseluruh kebahagiaannya ke dalam komunitas-komunitas hobi, menekankan kembali lagi bahwa hobi mungkin main-main, tapi mengapa orang punya hobi kadang-kadang tidak.
Sebab sekali lagi kita hanya mampu membantu meringankan beban hidup, bukan mereka yang sudah tiada. Dan, merujuk Hanako-kun, sebaiknya kita mulai bertindak dan bergegas sebelum satu persatu, mereka yang butuh bantuan tapi tak mampu teriak minta tolong, gugur di sekeliling kita, dengan kita yang belum tentu mengetahuinya.