[PERINGATAN: Artikel mengandung spoiler yang belum diadaptasi ke dalam animenya]
Setelah perilisan perdana animenya pada tahun 2013 lalu, Shingeki no Kyojin, atau Attack on Titan "menurut wibu Netflix", resmi merilis musim terakhir animenya tahun ini dan hype yang menggemparkan dunia perwibuan delapan tahun silam terhadap serial ini kembali menguak ke permukaan. Hal itu bisa dilihat dengan trending di twitter beberapa waktu lalu terhadap salah satu episode yang berjudul Declaration of War. Berkat trending yang sempat viral ini, timbul kecemasan pada beberapa orang yang tak mengikuti serial ini dan menganggapnya sebagai deklarasi perang sungguhan.
Terbesit sebuah pertanyaan: “Apakah mungkin isi cerita Shingeki no Kyojin dapat menimbulkan dampak berlebih di dunia nyata pada para pembacanya sebagai media yang kita konsumsi?”. Terkadang sebuah cerita mampu membuat para pembacanya ikut merasakan apa yang dialami oleh karakter sehingga menimbulkan rasa empati pada karakter akan penderitaannya. Terlalu melekatnya perasaan pada karakter tersebut juga mampu membuat kita jadi kehilangan batas antara nyata dan fiksi serta berdampak pada perilaku kita.
Shingeki no Kyojin dan Inspirasinya
Pertama, kita menilik dulu pada konflik dan konsep yang terjadi di manga karangan Hajime Isayama ini. Stuart Hall mengemukakan sebuah teori bernama teori representasi. Teori ini menjelaskan bagaimana mengartikan konsep ke dalam bentuk sebuah bahasa kepada orang lain. Menggunakan manga sebagai bahasa visual, Isayama merepresentasikan kasus-kasus yang cukup tabu, tapi nyata adanya di dunia kita melalui karakter Eren dan kedua bangsa yang saling berseteru di manga ini, Eldia dan Marley serta konsep utama cerita tentang posisi manusia sebagai yang diburu.
Melalui Eren, kita melihat bagaimana perjuangan seorang remaja yang hidup dalam ketidakberdayaannya dan ingin melawan hal itu dengan bergabung bersama Survey Corps dan bersama rekan seangkatannya, mereka berjuang mengejar kebebasan melalui pertaruangan hidup dan mati dengan Titan. Dan melalui umat manusia dalam dinding bernama Bangsa Eldia, kita mempelajari tentang arti ketakutan hidup dalam teror Titan.
Isayama merepresentasikan konsep ‘Manusia menjadi yang diburu’ melalui ketakutan, depresi dan stress, yang dikemas dengan visualisasi ekspresi khas miliknya yang mampu membuat pembaca tertegun setiap kali Titan memangsa manusia. Berdasar pada konsep inti cerita ini, Isayama mampu menggaet minat serta empati dari para pembaca terutama kepada Bangsa Eldia dan Perjuangan Eren dalam menggapai kebebasan.
Lalu seiring berjalannya cerita, kita dikejutkan dengan adanya bangsa lain bernama Marley yang merupakan musuh bebuyutan Eldia. Kasus perseteruan antar kedua bangsa ini sudah berlangsung sejak 2000 tahun silam sejak leluhur bangsa Eldia, Ymir mendapatkan kekuatan Titan dan menjadi Titan Perintis. Tapi alih-alih menceritakan kisah kedua bangsa ini sejak awal, Isayama hanya merepresentasikan cerita hanya pada bangsa Eldia dan Eren saja.
Hal ini dikarenakan pengarang harus objektif dalam merepresentasikan sesuatu demi menggaet minat pembaca seperti bagaimana sebuah sejarah. Dari sini pula kasus-kasus yang berusaha diinterpresentasikan oleh Isayama, mulai berkembang. Perbedaan persepsi sejarah ini merupakan salah satu contoh kasus di dunia nyata yang diintreprestasikan. Sebagai contoh, mari melihat Indonesia yang terbagi dengan kubu yang senang pada Soeharto dan tidak karena perbedaan persepsi sejarah, rasisme antar ras yang berbeda seperti yang terjadi pada ras kulit putih dan hitam, serta penumbuhan doktrin pada anak kecil seperti yang dilakukan Nazi kepada Hitler-Jugend (Pemuda Hitler).
Semua kasus yang terjadi di Shingeki no Kyojin sangat erat kaitan dengan yang terjadi di dunia nyata terutama pada masa perang meski pembaca tak hidup di jaman itu. Melalui tipifikasi dari teori kosntruksi sosial, Scuthz (1962:59) mengatakan bahwa “Dunia seperti yang telah ditunjukkan oleh Husserl, sejak awal dialami dalam pemikiran pra-sains tentang kehidupan sehari-hari dalam mode tipikal. Objek dan peristiwa unik yang diberikan kepada kita dalam aspek unik adalah unik dalam cakrawala keakraban dan prakenalan yang khas".
Jelaslah, pengalaman yang tak pernah dialami tak sepenuhnya tidak bisa dirasakan bahkan pada saat menentukan persepsi. Sebagai konsekuensi dari proses sosialisasi yang terjadi pada individual, menjadikannya kepribadian melalui interaksi simbolik manusia secara alami dan perlu mengkategorikan pengalaman mereka dalam istilah konsep. Dengan begitu, para pembaca dapat merasakan empati dan melakukan pembenaran pada apa yang akan dilakukan Eren selanjutnya demi menyelamatkan bangsanya.
Pembenaran pada Genosida
Eren yang menginginkan kebebasan bagi bangsanya dan memiliki kekuatan Titan Perintis yang diwariskan dari sang ayah, membuatnya tergerak untuk melakukan pilihan terakhir yaitu, Rumbling atau Guncangan Tanah menggunakan ribuan Titan Kolosal yang bersemayam dalam dinding pelindung pulau Paradis artinya, Eren akan melakukan sebuah tindakan genosida skala besar bagi semua yang menentang kebebasan rakyatnya dan itu berarti seluruh dunia.
Kita sebagai pembaca yang sudah mengikuti dan merasakan sendiri bagaimana perjuangan serta penderitaan yang dirasakan Eren dan bangsa Eldia demi meraih kebebasannya, tentu akan memihak pada keputusan Rumbling yang dilakukan Eren.
Thalia R. Goldstein memiliki pendapatnya tentang fenomena seperti ini, meskipun tidak spesifik soal Eren. Baginya, seseorang yang membaca fiksi cenderung bereaksi lebih kuat terhadap cerita daripada ketika dia membaca non-fiksi karena, fiksi menyediakan sebuah lingkup yang aman, dimana pembaca dapat mengalami emosi tanpa perlu perlindungan diri. Mereka juga tak perlu risau sebab fiksi tidak mengikuti dalam kehidupan nyata. Pembaca dapat membiarkan dirinya bebas mengalami emosi yang kuat tanpa segera mengirimkannya menuju kehidupan nyata. Tapi, disinilah Isayama mulai memainkan pemikiran kita dengan plot point-nya.
Melalui terkuaknya rahasia asli di balik dinding dan dunia, keterikatan kita pada Eren melalui penderitaan yang dialaminya, ditambah dengan penderitaan psikologis bangsa Eldia yang terpaksa menuruti Marley, Isayama memanfaatkan plot point tersebut dan mengacaukan lingkup aman tempat pembaca mengalami emosi tanpa perlindungan diri sehingga, mengikat pemikiran kita dan membawa pada pembenaran genosida yang dilakukan Eren. Dari awalnya hanya pembenaran, bisa saja menuntun pada realisasi tindakan di dunia nyata.
Menurut Richard J. Gerrig dalam bukunya Experiencing Narrative Worlds: On the Psychological Activities of Reading menyatakan bahwa individu bisa saja berubah dalam berperilaku sebagai bentuk konsekuensi membaca fiksi karena mereka tenggelam dalam kisah yang disajikan atau dengan kata lain, mereka dikirimkan ke dalam dunia naratif dan hal ini sudah dibuktikan beberapa kali.
Ada banyak contoh dampak berlebihan bahkan hingga menjerumus pada kriminalitas diakibatkan pada kebiasaan mengonsumsi fiksi sehingga sulit membedakan mana nyata dan palsu. Jika ingin melihat pada contoh di dunia nyata, kita bisa menilik pada kasus anak Nafa Urbach sebagai salah satu contoh perubahan perilaku dalam berkomunikasi sehingga, menimbulkan perkara.
Hal ini bukannya tidak mungkin terjadi pada Shingeki no Kyojin terutama, muatan cerita yang disajikan begitu relevan namun tabu dengan kasus di dunia nyata dan bagaimana Isayama merepresentasikan hal itu melalui satu persepsi melalui penderitaan Eren dan Eldia hingga pada titik, dimana siasat terakhir adalah dengan melakukan pembunuhan massal.
Pentingnya sang Pengarang Mengarahkan Maksud pada Cerita
Dengan berbagai penjelasan di atas, kita kembali pada pertanyaan awal: “Apakah mungkin isi cerita Shingeki no Kyojin dapat menimbulkan dampak berlebih di dunia nyata pada para pembacanya sebagai media yang kita konsumsi?”. Jawabannya adalah: “Ya”. Tentu sebagai pengarang, Isayama ingin sebisa mungkin memuaskan pembacanya dengan kisah yang dia buat dan hal itu adalah wajar. Tapi, sebagai pengarang harus juga memikirkan tentang bagaimana pandangan pembaca ceritanya.
Pandangan sang pengarang itu merupakan pokok dalam bercerita dan harus bisa diolah dengan baik. Memang bagaimana Isayama merepresentasikan Shingeki no Kyojin terbilang unik dan visionary. Tapi sebagai pengarang, terutama dengan serinya yang terkenal, harus bisa menuntun pembacanya dalam menanggapi dengan baik maksud dalam sebuah cerita agar tak melenceng dari norma yang berlaku di masyrakat.
Kembali lagi kepada pembaca, untuk mengingatkan bahwa Shingeki no Kyojin hanyalah fiksi semata dan tetaplah begitu. Melakukan pembenaran pada tindakan Eren memang tak salah. Yang salah adalah saat kita membawanya ke dunia nyata dan mengubah sikap kita. Mulai sekarang, mari menjadi pembaca bijak yang bisa membedakan fiksi dan nyata karena kita tentu tidak mau jika hal yang kita sukai harus dilarang dilakukan karena tindakan berlebih hingga menjerumus menuju kriminal berdasar pada idealisme sebuah karya fiksi.