trigger warning: kekerasan seksual, usaha bunuh diri
Tidak sudah-sudahnya kami, di Risa Media, merekam dan membuat artikel tentang kebejatan dan dekadensi moral skena wibu Indonesia. Kami telah menjabarkan dan mencatat segala macam perilaku. Mulai dari ketertarikan tidak sehat terhadap idola, bias gender dalam melihat karakter, maupun nafsu terhadap pornografi anak kecil bergambar, untuk menyebutkan beberapa.
Dalam ulasan manga kali ini, saya akan memberikan tawaran: jika tertarik, bagaimana jika anda membaca alur cerita yang tidak melulu memperkuat pandangan ngawur kita tentang dunia dan masyarakatnya, serta dapat membantu kita untuk mengenal banyak orang, mulai dari pengedar narkoba, enjo kousei, siswi yang baru tahu apa itu masturbasi, maupun seorang queer, sekali lagi untuk menyebutkan beberapa.
Singkatnya, bagaimana jika anda membaca From Now On We Begin Ethics oleh Shiori Amase? Ia merupakan serial slice-of-life episodik dengan format satu chapter, satu cerita. Premisnya cukup sederhana: seorang guru etika di salah satu SMA, Takayanagi-sensei, bertugas untuk mengejar kelas yang cenderung membosankan tentang perjalanan filsafat etika mulai dari Plato dan Aristoteles sampai ke dalam masa yang lebih modern. Namun, kelas dimulai dengan janji guru tersebut bahwa setelah lulus, siswa-siswanya harusnya lebih dapat siap menghadapi situasi-situasi yang mengancam keyakinan moralnya.
Benar saja, setiap episode bercerita mengenai permasalahan pelik yang dirasakan oleh masing-masing siswa, alias sang guru langsung terjun ke dalam 'praktik' konsultasi praktis mengenai sikap moral apa yang harus diambil siswanya ketika dihadapkan dengan berbagai situasi.
Kritik Sosial Apa Adanya
From Now On We Begin Ethics, selanjutnya disebut Ethics, juga memiliki kelebihan tersendiri. Jika manga-manga yang menceritakan permasalahan serius yang dialami masa muda cenderung membawanya dengan cara metafor/perumpamaan atau melalui simbol-simbol yang berlapis, Ethics langsung secara eksplisit menggambarkan apa yang terjadi, lengkap dengan rasa krisis yang langsung dirasakan oleh karakter-karakter di dalamnya. Permasalahan juga dibawa ke dalam bentuknya yang lebih konkrit, misal, tentang identitas gender dan perubahan tatanan sosial, Ethics langsung menunjuk masalah tentang kewajiban memakai dasi bagi laki-laki dan bagaimana seorang siswa berusaha untuk mengubah peraturan sekolah tersebut.
Ethics tidak menahan diri menceritakan masalah apa yang bisa dialami oleh anak SMA. Chapter 1 langsung menceritakan seorang gyaru yang hampir diperkosa, sedangkan chapter 2 menceritakan temannya yang benar-benar diperkosa, dan berakhir mempertanyakan harga diri dengan mengkontemplasikan bunuh diri dari atap sekolah.
Chapter 3 membawa kita ke seorang laki-laki yang punya harapan tinggi, namun ia tidak pandai melakukan apapun selain belajar—bagaimanapun juga, ia adalah faktor kunci mengapa gyaru dari chapter 1 ditolong oleh Takayanagi-sensei sebelum bencana. Setiap chapter mengikuti alur yang sama: pelajaran di kelas yang membahas tentang topik etika tertentu, krisis moral yang terjadi, siswa yang berurusan dengan krisis tersebut, lalu diakhiri dengan pesan dan saran dari Sensei.
Topik-topik lain yang juga diulas oleh manga ini adalah pengaruh popularitas media sosial, identitas gender, masturbasi, masalah mental, dan masih banyak lainnya. Pada satu babak, seorang siswi diarahkan untuk mempertanyakan usahanya untuk mengejar pengaruh di dunia maya. Pada babak lain, seorang queer mempertanyakan bagaimana caranya mengubah dunia yang tidak akomodatif bagi ekspresi dirinya, yang berakhir dengan lolosnya petisi tentang penghapusan kewajiban dasi dalam seragam sekolah—petisi yang tidak ia tandatangani. Turut serta juga siswi yang tiba-tiba menggebrak pintu dan bertanya pada Takayanagi-sensei: apakah ia seorang perempuan yang buruk karena beberapa kali masturbasi diam-diam di kamarnya?
Masalah-masalah yang jauh lebih pelik juga dieksplor. Lebih penting dari urusan dasi bagi siswa queer tadi adalah bagaimana ia menyeimbangkan usahanya memahami mereka yang belum menerima dan mereka yang jelas-jelas ingin menghapus identitasnya atau berperilaku sangat agresif terhadap identitas tersebut. Perempuan-perempuan tadi, bahkan setelah kasus utama mereka selesai, masih berseteru dengan isu seksualitas di usia remaja dan bagaimana agar para anak-anak SMA ini tidak terjebak lelaki hidung belang dan para predator.
Teman sekelasnya memiliki ketertarikan yang sangat erat pada boneka masa kecil—ia merasa boneka itu adalah 'teman' yang 'berbicara' dengannya. Kawan yang lain harus menyerahkan tugas sekolah dan cita-citanya untuk mengurus ayahnya yang terpaku di kasur rumah dan harus selalu diawasi dan dirawat. Dalam beberapa episode yang cukup suram, seorang siswa laki-laki dijebak oleh kakaknya untuk mengantarkan narkoba, sebelum akhirnya diselamatkan seseorang yang meminta balasan seksual—sebelum orang tersebut pada akhirnya diberhentikan temannya sendiri, Takayanagi-sensei.
Takayanagi-sensei: Guru yang tak Menggurui
Namun, setiap babak tidak hanya sekadar 'siswa mengalami masalah lalu guru memberikan saran'. Krisis moral tidak hanya dijadikan sebagai latar belakang untuk 'pembelajaran', tetapi sebagai alur cerita yang krusial. Jika dalam cerita-cerita 'bermoral' masalah hanya dijadikan sebagai alat untuk pembawa pesan, dalam Ethics masalah dijadikan sebagai masalah: yang perlu diatasi dan dituntaskan.
Dan Takayanagi-sensei tidak selalu berhasil menuntaskan masalah. Ia punya konfliknya sendiri: bagaimana ia mencapai posisinya di hari ini, bagaimana ia berakhir menjadi guru, dan bagaimana ia kemudian secara cuma-cuma dan tanpa ikatan memberikan saran bagi siapapun. Salah satu interaksi paling menarik yang pernah saya baca adalah dinamika Takayanagi-sensei dengan orang yang ia 'bantu'. Ia memiliki keyakinan bahwa ia tidak boleh 'membantu' seseorang sampai pada tahap bahwa seseorang merasa 'dibantu' oleh dia—sebab dari titik itu, ia akan dianggap sebagai 'penolong', dan dalam jangka panjang justru akan merusak pihak yang 'ditolong'. Bagaimana kemudian ia menjalani keyakinan ini tanpa menjadi seorang yang apatis dan abai adalah suatu perkembangan yang menarik untuk dicermati.
Oleh karena itu Ethics tidak sekadar menjadi cerita yang menggurui tentang bagaimana 'sekumpulan orang' perlu didengar dan dipahami. Ia bukan merupakan medium antara pembaca dengan orang-orang yang 'butuh dimengerti'. Orang-orang ini dikeluarkan sendiri ceritanya secara mentah, untuk kemudian harapannya mereka dapat dipahami oleh para pembacanya. Dan, variasi dari orang-orang ini juga jauh lebih luas dari apa yang dikenal oleh para wibu bermasalah lokal.
Dengan masalah yang banyak, lahirnya jenis manusia yang beragam pula: seorang gyaru yang menggoda guru sekolah, seorang perempuan yang manipulatif kepada semua pria akibat pengalaman yang membuatnya meyakini bahwa semua pria akan manipulatif padanya, seorang siswa teladan yang tidak tahu apapun tentang etika kecuali apa yang ada di buku, seorang siswa yang tidak terlalu cemerlang namun menghormati segala bentuk identitas tubuh akibat pengalamannya 'dikotak-kotakkan' sebagai perempuan yanag maskulin—dan masih banyak lainnya.
Dengan kata lain, Ethics mengambil jalan ketiga dibanding manga-manga serupa: jalan yang menggambarkan dunia remaja apa adanya. Ketika judul-judul lain sibuk untuk 'memperhalus' situasi, mungkin dengan penggambaran resolusi konflik yang membahagiakan semua orang, atau bagaimana situasi yang dihadapi cenderung hanya membutuhkan kerja keras dan keyakinan untuk menyelesaikannya, Ethics menunjukkan bagaimana penyelesaian masalah bisa menimbulkan masalah baru, atau minimal terkunci dalam pembahasan (deadlock) dan bagaimana krisis seringkali hanya berhasil selesai ketika dunia di sekeliling kita dan orang-orangnya kita ubah, tidak hanya dengan mengubah diri sendiri.
Di sisi lain, ketika beberapa manga sibuk untuk 'memperkeras' situasi, mungkin dengan atmosfir situasi yang sangat 'dark' dan membuat putus asa, atau dengan karakter yang mengadopsi pola pikir "semua manusia sampah" atau "semua manusia tidak berguna", atau minimal merespon secara berlebihan terhadap masalah yang ia hadapi, Ethics pada gantinya menunjukkan bagaimana permasalahan pelik remaja bisa jadi biasa saja, bisa jadi hanya karena pada waktu itu kita belum tahu apa-apa, dan banyak solusi bisa terjadi tanpa perlu menjadi edgy seperti Ayanokouji.
Satu catatan lagi: manga ini memberikan inovasi dengan bagaimana, dengan latar belakang sekolahnya, ia membubarkan seluruh satuan karakter—karena kelas yang diajarkan oleh Takayanagi-sensei itu telah lulus. Setelah semua tokoh cerita lulus, beberapa lusin lagi masuk, dalam tahun ajaran baru, dengan permasalahan yang baru. Ini berarti Ethics tidak ambil pusing dengan bagaimana karakter harus 'sering' muncul, ia lebih memikirkan bagaimana cerita tentang masa muda harus dipaparkan, dan tepat adanya ketika ia memilih untuk selalu menceritakan orang-orang baru, yang tidak kita kenal, berikut dengan problematikanya yang baru, yang belum pernah kita temui.
Manga yang 'Gue Banget'
Ethics adalah napas segar yang dibutuhkan oleh kancah manga slice-of-life akhir-akhir ini. Ia membuka topik-topik yang terlalu jarang dieksplor sebelumnya, dengan tutur narasi dan alur cerita yang ciamik, menarik perhatian namun tetap bertaut pada kenyataan. Kita dapat relate dengan karakternya bukan karena mereka adalah personifikasi 'anak muda', tapi mereka sebagai karakter itu sendiri, yang mungkin kita kenal atau belum pernah kita kenal di dalam hidup kita masing-masing.
Takayanagi-sensei, sang protagonis acara, juga tidak dapat dikotakkan dalam satu klise tertentu, seperti 'guru yang dingin' atau 'tokoh yang sudah menyerah untuk berada di garis depan', ia memiliki sekian lapis karakter yang belum sepenuhnya kita ketahui atau kita eksplor. Akhir kata, manga seperti ini dapat membawa perspektif baru ke sekian banyak rekan wibu lokal kita: tanpa klise, tanpa rasa menggurui, dan membuka pengetahuan dan empati kita terhadap orang-orang dan masalah-masalah yang selama ini hanya kita temui dalam meme dan cemoohan di linimasa media sosial.