Naoka Ueno, nama ini benar-benar sedang naik popularitasnya akhir-akhir ini bagi kalangan masyarakat pecinta anime.
Ia berasal dari manga Koe no Katachi. Manga karangan Yoshitoki Ooima tersebut berakhir pada 2014 lalu dengan 64 bagian (chapter) yang dibungkus dalam 7 volume. Dua tahun berselang, Kyoto Animation akhirnya ‘mengabulkan’ harapan para pembaca manganya dengan mengadaptasi manga bergenre drama dan school life tersebut ke dalam bentuk anime movie dan tayang perdana di bioskop Jepang mulai 17 September 2016.
Cerita berpusat pada Shouya Ishida dan diawali dengan latar kelas 6 SD, bermula dengan datangnya murid pindahan yang bernama Shouko Nishimiya, seorang anak yang tunarungu dan pada saat pertama kali datang ke kelas, ia menggunakan buku tulis untuk menulis nama dan salam perkenalannya. Di kelas tersebut, awal mulanya menerima keadaan seorang Shouko yang sedemikian itu. Namun, lama kelamaan banyak yang akhirnya memilih jalur yang lumayan ‘keji’ untuk seseorang yang mengalami disabilitas: penindasan (bully). Penindasan perlahan-lahan mulai dialamatkan pada Shouko dengan ‘penjahat’ utamanya (secara tindakan) adalah Shouya, dengan adanya dorongan dari teman kelasnya yang lain seperti Naoka Ueno, Miki Kawai (meskipun samar), Keisuke Hirose, dan Kazuki Shimada, dan yang lainnya.
Kita mulai menenggelamkan nama-nama tadi dan mulai memusatkan tulisan pada seorang karakter yang bernama Naoka Ueno. Dengan rambut hitam yang sangat menawan dan sepintas saya menjadi berpikir bahwa dia adalah versi terkini dari seorang Azusa Nakano (maafkan saya wahai penggemar Azusa). Dikisahkan, bahwa saat SD ia merupakan perempuan yang sangat dekat, atau dapat dikatakan yang terdekat dengan Ishida (Shouya). Ueno (Naoka) lah yang sesungguhnya sebagai ‘otak’ dari penindasan Ishida terhadap Nishimiya (Shouko).
Yang paling dikenang adalah saat bagaimana seorang Ishida tega melemparkan seenaknya alat bantu pendengaran milik Nishimiya dan kalau seingat saya itu mencapai delapan kali. Sampai-sampai ibu dari Ishida yang menanggung itu semua. Oke, kisah kelam dari masa SD pun ditutup dengan ‘mengorbankan’ Ishida dan akhirnya penindasan yang ia lakukan (dengan pengaruh Ueno) berbalik kepadanya. Teman terdekatnya yang selalu setia pun tak tanggung-tanggung memeras balik Ishida, layaknya ia dulu begitu tak ada ampunnya menganggu hal-hal besar dari kehidupan Shouko.
Tinggalkan masa SD. Setiap peristiwa yang terjadi pasti selalu menjadi akar dari apa yang ada di masa depan. Lima tahun berselang, atau tepatnya saat SMA, Ishida dan Shouko kembali dipertemukan oleh takdir. Terima kasih takdir. Ishida pun sudah mahir berbahas isyarat. Hubungan Ishida-Shouko yang sempat agak ‘tegang’ pun akhirnya berakhir manis, tentunya kali ini Ishida sudah menyesali perbuatan yang ia lakukan dan tak akan melakukan hal yang sama (lagi) seumur hidupnya. Bayangkan saja, ia benar-benar berusaha keras untuk hidup sampai-sampai mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Kini, mereka berdua sudah damai.
Ya, sampai suatu hari, Ueno -hantu masa lalu Ishida- kembali muncul di hadapan Ishida. Di simpang jalan, seeenaknya saja mendekat dan berusaha ‘menggoda’ Ishida. Pahanya sangat menarik, buat Ishida tak berkutik. Ueno kini sudah menjadi seorang gadis: manis, modis, dan paha nan klimis. Sebelumnya, Ishida sebenarnya sudah pernah berjumpa dengan Ueno saat ia membagikan selebaran kafe kucing tempatnya bekerja … Firasat Ishida itu benar dan dengan Bro Nagatsuki-nya, karakter yang bukan berasal dari masa kecil Ishida, datang ke kafe tersebut.
Namun, tentunya hal yang diinginkan malah tak tercapai. Kembali ke si pemilik paha nan maha m-m-moe ini, saat di sepeda ini pun entah apa yang ada di pemikiran Ueno hingga tersuratkan perkataan untuk sekali lagi memancing Ishida untuk ‘menindas’ Nishimiya (kali ini dengan tanda kutip tentunya). Ueno bahkan memaksakan kehendaknya untuk terus dekat dan berboncengan ria dengan Ishida (saat itu Ishida sedang menaiki sepedanya untuk menemui Shouko).
Terhubung kembali dengan Kawai dan Sahara (Sahara adalah teman sekelas Ishida dan Nishimiya juga saat SD, terlihat bahwa ia sebenarnya ingin berteman dengan Nishimiya yang tak mampu mendengar). Pertemuan yang amat jleb pun tiba: Nishimiya, Ishida, dan Ueno berada pada satu tempat yang sama. Lama tak berjumpa, Ueno bukannya mengubah sifat masa lalunya dan sekali lagi berusaha untuk merebut alat bantu dengar dari seorang Nishimiya yang sudah tumbuh dewasa.
Masuk ke babak saat di taman bermain, ia terlihat begitu ingin mencoba mengulas lebih dalam lagi ke dalam kepribadian seorang Nishimiya. Kebencian nan sangat mendalam terhadap itu akhirnya terealisasikan dengan baik saat terjadinya ‘private time’ antara Nishimiya dengan Ueno di wahana bianglala. ‘Kamera rahasia’ Nishimiya pun menjadi saksi elektronik kejadian ini. Pada mulanya, paha Ueno kembali menyilaukan siapa pun yang memandanginya. Perilakunya selama ini untuk mencoba-coba berbuat agak lebih baik dengan Shouko hanyalah palsu, ia tetap bersikeras mencela Shouko dari belakang. Persetan, kali ini lebih dahsyat lagi, menampar seorang gadis yang sudah puluhan … ratusan … ribuan (mungkin) satu kata yang sama kepada setiap orang:
“Gomennasai” (Maafkan aku).
Tidak hanya sekali, berlangsung hingga kedua kalinya tindakan tersebut terulang.
Singkat cerita, Nishimiya pun nyaris membunuh dirinya dan berakhir dengan kegagalan lantaran diselamatkan dengan ‘kekuatan perasaan’ dan uluran tangan dari Ishida. Ishida pun harus menjalani perawatan di rumah sakit. Kembali ke Ueno, Si ratu ini -Ueno- menimpakan segala derita yang ia alami dan teman-teman lamanya karena munculnya sosok ‘brengsek’ seperti Shouko di dalam perjalanan hidup mereka. Tak cukup Nishimiya (Shouko) seorang, ibunya pun juga harus terlibat dan merasakan sensasi tamparan nan jederr dari Si Paha Mulus tersebut. Kalimat yang terlontarkan sangat fenomenal sekali: “Kenapa mempunyai anak kalau tak bisa mengurusnya?”.
Ia terkesan sangat-sangat sesuka hatinya untuk memendam rasa terhadap Ishida hingga saat ia rutin saban hari menjenguk Ishida, teman-temannya pun bahkan tak diperbolehkan untuk berkunjung. Bagian ke-50 dari manganya dengan gamblang menggambarkan betapa nafsu yang mengucur kencang dari Ueno untuk memiliki dan melakukan ‘itu’ dengan Ishida. Itu baru sebagian dari tingkah laku dan sisi gelap seorang Ueno. Tak mau menyebut jauh lebih panjang lebar lagi … dicukupkan saja.
Manusia itu layaknya batu baterai, pasti ada kutub negatif (keburukan) dan kutub positifnya (kebaikan) masing-masing. Dari setiap peristiwa yang ada, pastinya kita bertanya-tanya satu hal yang sama: Apa yang ada di dalam benak seorang Ueno?
Jangan mengulas perkara pahanya pada poin ini. Kita mulai bahwa sebenarnya saat SD pun, ia pada awalnya tak ingin melakukan ini semua, tapi semata-mata penindasan tersebut tampak menjadi semangat yang membara bagi Ueno karena kecemburuannya terhadap Nishimiya, yang sangat rajin … membersihkan meja Ishida. Lalu, beranjak pada masa SMA, ia adalah seorang yang apa adanya. Apa yang ia katakan kepada yang lain adalah apa yang ia benar-benar ingin katakan, sekali pun hal tersebut mengandung makna-makna kebencian. Ia adalah gadis yang sangat, sangat, sangat, sangat setia terhadap Ishida. Ia pun berusaha mempertemukan kembali Ishida dengan teman masa lalunya saat di taman bermain.
Ia adalah ‘perwakilan’ segenap teman Nishimiya untuk mengutarakan bahwa Nishimiya-lah pemicu utama semua ini, yang saya tekankan dalam hal ini adalah kejujuran yang ia pendam. Ueno pula yang mencoba untuk menyadarkan satu keluarga Nishimiya akan apa yang telah diperbuat Shouko, jelas diceritakan dalam anime dan manganya bahwa usaha bunuh diri Nishimiya-lah yang membuat Ishida harus merasakan penderitaan di rumah sakit. Satu hal yang patut diapresiasi adalah keikhlasannya untuk merawat Ishida saat itu di rumah sakit. Saya rasa, sifat-sifat di atas sangat patut untuk dijadikan renungan bagi kita.
Manusia punya dua sisi, begitu pun seperti yang telah tergambarkan dalam diri Naoka Ueno. Ueno adalah karakter yang paling mencerminkan kita yang sebenarnya, paling realistis. Tanpa kita sadari, melihat Ueno dan mengomentari apa yang diperbuatnya bagaikan kita menceramahi diri kita sendiri.
Munculnya perseturuan ‘Apakah Ueno itu sampah’ atau ‘Apakah Ueno adalah gadis yang baik’ hanyalah karena pada dasarnya Ueno bukanlah dua hal tersebut. Ia tak pantas menjadi sampah hanya karena lantaran perbuatan buruknya yang terang-terangan dilakukannya, banyak orang yang ‘baik di luar, tapi jahat di dalam’ ketimbang dirinya. Ia lalu tak layak menjadi seorang gadis yang baik karena memiliki kecenderungan untuk ‘mendapatkan apa pun yang saya mau’. Intinya, Ueno adalah Ueno. Kita adalah kita. Ia bisa menjadi gadis yang baik pada suatu waktu dan dapat pula menjadi sampah pada waktu lainnya, begitu pula kita. Sudah mulaikah kita untuk menyadarinya?
Melejitnya kubu pro Ueno dan kontra Ueno dimulai saat film tersebut dibawa ke Indonesia mulai 3 Mei 2017 lalu. Sebelumnya, telah dilakukan penayangan Premier-nya pada 30 April di CGV blitz Grand Indonesia. Antusiasme penonton sangat terasa terutama bagi mereka yang tak sabar untuk menyaksikan film yang berdurasi 2 jam 10 menit tersebut. Meskipun dari pandangan pribadi saya, durasi yang amat sangat ‘sebentar’ untuk sebuah adaptasi manga yang memiliki puluhan bagian menyebabkan agak hambarnya cerita dan ada pula berbagai bagian-yang-krusial-di-manga-tapi-kenapa-tidak-ada-di-filmnya, kenyataannya film Koe no Katachi saat ini (dipantau pada 22 Mei 2017, pukul 20.00) nangkring di pemuncak Top Anime versi MyAnimeList dengan skor 9,17 (posisi ke-4), dinilai oleh 42.447 pengguna.
Oleh Rahmat Maulana Koto. Sekedar pengamat media sosial biasa saja.