“Dosen gak bolehin saya gambar pake style anime.” Kalimat ini bukan hanya diucapkan oleh satu dua orang. Tak terhitung berapa jumlah wibu yang menerima kata-kata itu. Mereka merasa terkena diskriminasi karena tidak boleh menggunakan style anime dalam tugas akademiknya.
Saat hal itu terjadi, tuduhan pertama yang dilancarkan adalah “generasi tua yang kolot dan tidak mau mengikuti perkembangan zaman.” Memang hal itu bisa jadi alasan, tapi tak selamanya demikian. Lantas, benarkah style anime mengalami “diskriminasi”? Ataukah hal tersebut hanya persepsi para wibu saja?
Untuk membahas hal ini lebih dalam, Risa Media kedatangan Johanes Park, asisten dosen komik dari salah satu universitas swasta terkemuka di Jakarta. Ia juga merupakan komikus dari Gula Comic, yang kebetulan musim keduanya akan tayang Jumat malam ini. Meskipun bergerak di bidang akademik, ia tak sungkan menggunakan style anime dalam karyanya. Apa pendapatnya mengenai problematika yang sudah berlangsung lama ini? Baca dulu artikelnya sampai habis.
Belajar Dasarnya Dulu!
Sebagai permulaan, definisi “style anime” itu sendiri terlalu luas dan rancu. Gaya gambar JoJo ala Araki-sensei tentu tak bisa disamakan dengan Pop Team Epic-nya Bkub. Begitu pula Naruto dan Astro Boy, persamaan yang ada bisa dibilang sedikit.
Namun, karena definisi ini sudah telanjur menyebar di masyarakat, segala penyebutan “style anime” merujuk ke gaya gambar anime yang umum di tahun 2010an. Mata besar (tapi tidak sebesar manga shoujo), hidung setitik, rambut tidak terlalu mengembang (tidak seperti anime 90an) adalah beberapa cirinya.
Style anime lahir dari imajinasi, dan imajinasi ini tak selalu sejalan dengan realita. Ciri-ciri seperti di atas tidak kalian temui di dunia nyata. Hal ini yang membuat sebagian guru dan dosen tidak merekomendasikan style anime sebagai sarana belajar. Gaya gambar realis lebih disarankan jika ingin memulai mendalami ilustrasi.
Dengan gaya gambar realis, patokannya jelas, manusia asli. Kalian juga akan lebih mudah mempelajari anatomi dan proporsi. Jika style realis sudah dikuasai, menggambar style lain, termasuk style anime, tentu akan lebih mudah, karena sudah punya dasarnya. Sama halnya dengan naik sepeda. Naik yang benar dulu, kalau sudah stabil, mau lepas tangan atau jungkir balik pun silahkan.
Stigma Negatif Style Anime
Dari sebuah survei yang pernah kami lakukan di bulan Mei 2018, kami menanyakan kepada sejumlah responden mengenai gaya gambar anime. Mayoritas responden (30,4%) menyatakan bahwa style anime kerap mendapat stereotip negatif di dalam masyarakat. Sejumlah guru dan dosen mengharamkan style anime dalam mata kuliahnya, karena kaku, kekanak-kanakan, dan menghilangkan esensi seni. Lebih jauh lagi, di beberapa kampus, orang yang menggunakan style anime dapat dikucilkan dalam pergaulannya. Hal ini dapat dikategorikan sebagai elitisme, di mana sang senior iri dengan kesuksesan juniornya.
Meskipun demikian, banyak guru dan dosen masa kini sudah berpikiran terbuka. Mereka tetap menyarankan illustrator untuk mulai dari realis, tetapi mereka boleh menggunakan style anime setelahnya. Dalam tugas akhir, style anime diizinkan, asal harus jelas alasan dan target pasarnya.
Ogah Keluar dari Zona Nyaman
Tak bisa dipungkiri, wibu menyumbang persentase yang signifikan dalam jurusan desain komunikasi visual. Mereka terinspirasi dari anime yang mereka tonton dan senang menggambar, berharap suatu saat dapat membuatnya sendiri. Masalahnya, sebagian dari wibu ini hanya terpaku ke style anime saja, dan menganggap hal di luar itu sebagai sesuatu yang tidak menarik. Padahal, mereka harus mempelajari berbagai macam gaya gambar, sebelum akhirnya dapat menciptakan gaya gambar yang berciri khas.
Hal ini juga yang membuat sejumlah dosen mengajak mahasiswanya untuk mempelajari gaya gambar tertentu. Tujuannya, agar mereka yang berada di zona nyaman harus keluar dari sana. Sebagian wibu menganggap ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap style anime, padahal sebenarnya tidak.
Akhir kata, karyamu adalah karyamu. Tidak ada larangan untuk menggunakan gaya gambar apapun juga, selama digunakan di tempat yang tepat. Belajar dari banyak hal, beragam cara gambar, jangan terus-menerus berada di zona nyaman. Masih banyak hal yang juga perlu diperhatikan dalam karya. Proporsi, anatomi, ekspresi, storytelling, dan marketing, hal-hal ini tak boleh terlupa agar hasil karyamu membekas di hati mereka yang melihatnya.
Tulisan ini adalah opini pribadi dari penulis, tidak mencerminkan pandangan umum Risa Media. Narasumber oleh Johanes Park. Penulisan oleh Excel Coananda.