Dalam melawan tirani yang paling korup dan sistem yang penuh kebobrokan, anda memilih melawan dengan kekerasan atau mengubah perlahan-lahan?
Meskipun secara konsensus kekerasan semakin tidak dipandang dengan baik, tak ada yang mampu menjawab pertanyaan itu sekarang, juga 200 tahun yang lalu. Mereka yang ingin langsung ‘menggebrak’ akan menyatakan bahwa terlalu lama menunggu semua nya selesai dan aman, perubahan harus dilakukan sekarang. Sedangkan mereka yang ingin mengubah perlahan-lahan berkata: kalau revolusi, akhirnya cuma akan muncul pemimpin otoriter yang baru.
Keributan ini adalah mengapa Revolusi Perancis menjadi sangat kacau, dan mengapa Charlotte Corday, si ‘assassin Tawawa’ baru dari Fate/Grand Order, bisa menjadi ‘martir melawan radikalisme’ atau ‘musuh rakyat’, tergantung kapan dan pada siapa kamu bertanya.
Awalnya tidak ada kaum radikal.
Raja Perancis Hanya Butuh Turun Takhta
National Assembly hanya ingin negara diurus dengan baik dan benar, dan bahwa sang Raja tak lagi memerintah dengan semena-mena. Sebuah konstitusi–yang membatasi hak pemerintah–harus dicanangkan, dan Raja juga harus ikut patuh di dalamnya. Kenikmatan yang dirasakan kaum bangsawan dan Gereja harus dipangkas habis agar sumber daya dialokasikan dengan setara. Atur keuangan negara dan turunkan harga makanan: tuntutan perubahan seringkali sama, baik itu Paris 1789 ataupun Jakarta 1998.
Di antara keributan itu, tak terdengar ujaran untuk memenggal kepala Raja, Louis XVI, atau Marie Antoinette, istrinya. Para National Assembly, kemudian menjadi Girondins, memilih Monarki Konstitusional: Raja akan tetap ada, tapi hukum akan memastikan ia bekerja dengan benar, dan hukum itu ditulis dan disetujui oleh seluruh rakyat Perancis.
Tetapi jika anda hanya bisa memakan satu roti per hari, itupun isinya bubuk kayu dan sampah-sampah lain, hidup sengsara dengan kerjaan yang tak menentu, dan ladang anda habis dihapus bencana alam, hal-hal seperti ini tak cukup.
Muncul kelompok lain: para Jacobins dan Montagnards.
Raja Perancis Harus Dipenggal dan Diarak Kepalanya
Ingat, Eropa abad ke-18: tidak ada demokrasi, apalagi republik. Menjadi seorang ‘pendukung Republik’ adalah sikap politik yang paling radikal, paling kasar dan ekstrim. Bagaimana tidak, Republik menyatakan semua orang setara dan kita akan memilih pemimpin dari orang biasa, sedang Eropa mempunyai pemimpin dari kalangan bangsawan prestisius dan direstui oleh Gereja–yang berarti direstui Tuhan.
Tetapi bagi banyak pihak, monarki harus dihapuskan. Ide-ide radikal selalu muncul dari kepahitan hidup dan keputusasaan, maka para Republikan mulai mengambil hati rakyat: para Jacobins, dan yang lebih radikal, Montagnards.
Paling radikal di antara mereka adalah penulis bernama Jean-Paul Marat. Pernah mengira Raja tetap harus dipertahankan, ia kehilangan kepercayaan, dan langsung menyerang terus-menerus kerajaan, menyatakan bahwa rakyat Perancis, jika ingin merdeka dan sejahtera, harus menghapuskan monarki dan memenggal sang Raja.
Lebih dari itu, ia menulis bahwa agar revolusi bisa tuntas, mereka yang ‘kontra-revolusi’ harus dibasmi. Ini berarti para loyalis Kerajaan, para Royalis, dan para Girondins yang lebih moderat. Pada satu bulan September yang kelam, setengah dari Paris dibantai: mereka yang dianggap ‘tidak setuju dengan revolusi’ mati di pisau Guillotine.
Banyak orang bersorak-sorai. Orang-orang lain merasa ada yang salah dan kelewatan, ada yang mengerikan. Salah satunya adalah Charlotte Corday, seorang Girondin dan moderat muda.
Pembunuhan Jean-Paul Marat
Banyak rakyat Perancis tiba-tiba menjadi mual. Revolusi yang tadinya digelorakan dengan berani, lama-lama menjadi mengerikan: mereka yang tidak setuju dibunuh, dan semua hal dilakukan untuk ‘menyatukan’ suara. Pentolannya tak lain dan tak bukan, para Montagnards, dengan tokohnya Jean-Paul Marat.
Di tengah rakyat yang sengsara, Marat segera jadi ikon. Tulisannya di risalah ‘Kawan-kawan Rakyat’ dengan cepat menjadi populer, menambah popularitas bagi jalan yang lebih radikal.
Corday menghentikan jalannya. Dengan perencanaan yang sangat tertata rapi, dan embel-embel ‘wawancara’ dengan tokoh populer itu, ia menancapkan pisau di badan Marat, membunuhnya di bak mandi tempat ia beristirahat.
Rakyat mengamuk. Corday hampir dihakimi massa. Dengan cepat ia digelandang ke penjara, dan tiga hari kemudian ikut dipenggal kepalanya oleh Henri-Sanson sebagai ‘pengkhianat revolusi’.
Wanita Bisa Membunuh, Wanita Bisa Berpolitik
Pembunuhan itu mengejutkan, karena Corday jelas sadar dengan apa yang ia lakukan. Ia bahkan pertamanya akan membunuh Marat di hadapan semua orang dan kawannya dalam perkumpulan National Assembly (yang kini dikuasai Jacobins). Tujuannya jelas: ia ingin menyadarkan masyarakat Perancis bahwa Marat dan orang-orang radikal adalah para monster yang membunuh semangat revolusi itu sendiri.
Ia melakukan pembelaan dengan berapi-api. Ia memperingatkan dengan keras: Perancis sedang membuat seorang tirani, suatu teror yang tak terkendali. Apapun yang terjadi, ia tak merasa bersalah karena telah membunuh seorang monster.
Tapi peringatan itu gagal total: para radikal menggunakannya sebagai alat untuk memperkuat diri. Pembunuhan Marat menjadi sangat sentimental, dan dengan cepat para moderat kehilangan pendukung.
Perancis, akhirnya, dipimpin oleh seorang ‘monster’. Pentolan Jacobin dan kawan Marat, Robespierre, naik takhta dan membunuh siapapun yang tak setuju denganya dalam ‘Masa Teror’.
Pada akhirnya, Perancis mendapatkan tujuan awalnya: sebuah monarki konstitusional, dengan Napoleon sebagai wajahnya, tetapi darah pendukung Republik keburu tumpah. Negara itu tetap akan menjadi kerajaan sampai ratusan tahun kemudian, dan revolusi akan terus dikenang dengan mual dan tak enak hati.
L’ange de l’assassinat
Maka bagi beberapa orang, Charlotte Corday adalah seorang martir. Seorang moderat yang ingin membawa perubahan, namun tak terlalu radikal dan secara langsung berurusan dengan massa yang tak terkendali. Bagi mereka yang mengingat peran perempuan dalam sejarah, Corday menjadi salah satu perempuan yang berani melawan.
Ia menjadi l’ange de l’assassinat: malaikat pembunuh.
Tapi bukankah ia akhirnya gagal? Bukankah tindakannya malah menyulut amarah warga, membuat warga semakin radikal? Mungkin. Tapi, martir atau musuh, ia jelas tak peduli dengan kata-kata orang. Dalam pembelaanya sebelum dipenggal, ia menyatakan dengan tegas: jika orang-orang melihat tindakanku dari sudut pandang lain, maka aku tak peduli.
Charlotte Corday yang muncul di Chaldea kemudian tak jauh berbeda Skill-nya mencerminkan dirinya: berturut-turut l’ange de l’assassinat, Iron Determination (merujuk resolusinya yang kuat), dan Haphazard Planning (perencanaan yang berani dan bahaya). Noble Phantasm-nya pun mempunyai kesempatan instant kill, seperti bagaimana ia bukanlah pembunuh mahir, dan ‘beruntung’ bahwa tikaman pisaunya langsung membunuh Marat.
Pada akhirnya, ia hanya ingin melakukan sesuatu, dari prinsip yang benar-benar ia yakini. Posisinya dalam sejarah bisa diperdebatkan, tapi ia sendiri tak memerdulikan hal tersebut.