Detik-detik di Final
Pendukung tim berseragam putih sudah bersorak bergembira dalam sepuluh menit terakhir, setelah mereka mencetak gol yang mengubah kedudukan. Sorakan semakin keras, jelas saja karena mereka hanya perlu menghabiskan lima menit untuk mengangkat piala. Seharusnya bukan waktu yang lama.
Sebaliknya, pendukung tim berseragam biru berharap lima menit terakhir menjadi lima menit yang lama, mereka berharap sembari cemas melihat papan skor di Commerzbank-Arena yang menunjukkan angka satu dan dua. Berharap adanya keajaiban, setidaknya untuk menunda perayaan kemenangan tim lawan.
Sorakan yang diberikan oleh pendukung tim putih tidak membuat semangat tim biru memudar. Tim biru terus menggempur pertahanan lawannya. Masih di menit yang sama pula, pendukung tim putih menghentikan sorakannya sejenak.
Kapten tim biru memberikan umpan terobosan indah kepada Kinga. Seorang pemain dengan nomor punggung dua, nomor punggung yang identik dengan posisi sebagai bek kanan, dengan berani melakukan overlap ke dalam kotak pinalti tim putih. Berhasil melewati kiper setelah menerima umpan terobosan, sayang peluang emas tersebut berhasil digagalkan.
Namun, pendukung tim putih belum bisa tenang, melalui peluang tersebut, tim biru mendapatkan sebuah sepak pojok.
Miyama, seorang gelandang yang bermain di Amerika Serikat hingga beberapa bulan sebelum turnamen ini digelar ditugaskan untuk mengambil sepak pojok. Sepak pojok ditendang tidak begitu tinggi, mengarah ke tiang dekat gawang. Miyama mengambil keputusan tersebut mengetahui perbedaan postur yang cukup jauh antara tim putih dan biru.
Pemain bernomor punggung sepuluh dari tim biru berlari ke arah bola hasil sepak pojok tersebut. Dijaga ketat, dia melakukan half-volley dengan bagian luar dari kaki kanannya yang akhirnya berhasil menyamakan kedudukan. Pemain yang mencetak gol penyama kedudukan tersebut adalah Homare Sawa, gelandang yang akhirnya menjadi pencetak gol terbanyak dan pemain terbaik pada turnamen tersebut.
Akan tetapi, selain dua gelar dan satu gol penyama kedudukan tersebut, ada satu hal yang akan diingat mengenai dirinya. Homare Sawa, sebagai kapten tim terus bersemangat, memastikan rekan setimnya untuk terus berjuang. Memastikan bahwa Nadeshiko Japan menolak untuk menyerah.
Begitulah cerita singkat bagaimana Nadeshiko Japan, sebutan untuk tim nasional sepakbola wanita Jepang yang menggunakan seragam biru kebanggaannya, menolak untuk kalah menghadapi tim nasional sepakbola wanita Amerika Serikat pada 2011 FIFA Women’s World Cup.
Setelah gol penyama kedudukan tersebut, pertandingan berlanjut pada babak adu pinalti, di mana Ayumi Kaihori menunjukkan kemampuannya sebagai penjaga gawang dengan menggagalkan dua pinalti pemain Amerika Serikat. Nadeshiko Japan memenangkan pertandingan tersebut, dan mengangkat piala sebagai tim nasional wanita terbaik dunia.
Kemenangan ini menjadi semakin emosional, karena beberapa bulan sebelum gelaran piala, Jepang mengalami musibah tsunami yang menelan banyak korban jiwa. Bek Nadeshiko Japan Aya Sameshima adalah salah satu orang yang merasakan dampak dari bencana tersebut. Klubnya, TEPCO Mareeze yang dimiliki oleh Tokyo Electric Power Company harus ditutup akibat bencana tersebut.
Seperti pemain lainnya yang bermain di TEPCO Mareeze, mereka juga bekerja di Fukushima Daiichi Nuclear Power Plant yang dijalankan oleh TEPCO tempat dia masih hadir untuk bekerja hingga beberapa hari sebelum kejadian. Beruntungnya dia sedang mengikuti pemusatan latihan bersama Nadeshiko Japan ketika hal mengerikan tersebut terjadi.
Kembali ke Final
Empat tahun berselang, pada final turnamen yang sama, Nadeshiko Japan harus menerima balas dendam dari Amerika Serikat. Bermain di stadion BC Place, mereka harus mengakui keunggulan telak Amerika Serikat dengan skor 5-2. Bahkan ketika pertandingan baru berjalan 17 menit, Nadeshiko Japan harus mengambil bola dari gawangnya sebanyak empat kali. Bukan final yang diharapkan akan terulang lagi.
Delapan tahun sudah berlalu sejak cerita heroik itu terjadi dan empat tahun setelah kekalahan memalukan di final, Nadeshiko Japan akan berjuang lagi. Kali ini tidak akan ada penyelamatan gemilang dari Kaihori, atau keahlian dan semangat Sawa. Nadeshiko Japan datang ke Prancis, tempat digelarnya 2019 FIFA Women’s World Cup dengan banyak pemain muda. 14 dari 23 pemain yang di bawa oleh pelatih Asako Takakura adalah U-23.
Kepercayaan kepada para pemain muda ini muncul setelah mereka memenangkan medali emas pada Asian Games 2018 di Palembang. Walaupun setelah ajang tersebut, Nadeshiko Japan menjalani 2019 dengan hasil yang kurang baik.
Asa untuk Tahun Ini
Nadeshiko Japan memulai 2019 dengan hasil seri melawan Amerika Serikat, lalu menang melawan Brasil di mana ini menjadi satu-satunya kemenangan Nadeshiko Japan di tahun ini. Setelah itu mereka mengalami kekalahan beruntun dari Inggris dan Prancis dan diakhiri dengan hasil seri melawan Jerman dan Spanyol.
Hasil buruk sebelum Piala Dunia ini memang cukup mengkhawatirkan, tetapi jika kilas balik ke tahun 2011, sebelum mereka mengikuti Piala Dunia, rekor mereka juga tidak bagus dengan dua kali seri dan dua kali kalah.
Pada gelaran 2019 FIFA Women’s World Cup tahun ini, Nadeshiko Japan akan bergabung di grup D bersama Inggris, Skotlandia dan Argentina. Di atas kertas, Nadeshiko Japan seharusnya tidak memiliki kesulitan berarti melewati grup ini karena hanya bersaing dengan Inggris yang sekarang berada di peringkat 3 FIFA.
Skotlandia yang akan memulai debutnya di turnamen ini berada di peringkat 20 sedangkan Argentina di peringkat 37. Nadeshiko Japan sendiri berada di peringkat 7.
Mereka yang Berjuang
Dalam gelaran kali ini, Nadeshiko Japan akan kembali diperkuat oleh muka lama seperti Rumi Utsugi, Mizuho Sakaguchi, Aya Sameshima, Mana Iwabuchi dan Saki Kumagai. Mereka adalah pemain-pemain yang terlibat dalam keberhasilan Nadeshiko Japan pada tahun 2011. Khusus nama terakhir, dia akan melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Sawa dan Miyama, memimpin Nadeshiko Japan di lapangan sebagai kapten. Selain nama senior, untuk gelaran kali ini Jepang membawa cukup banyak pemain-pemain muda.
Salah satu nama yang menarik untuk ditunggu aksinya adalah Yui Hasegawa. Pemain kelahiran 22 Januari 22 tahun yang lalu ini sudah memiliki lebih dari 30 penampilan bersama dengan Nadeshiko Japan, terbanyak diantara para pemain U-23 lainnya yang dipanggil.
Saki Kumagai adalah pemain yang memiliki jam terbang serta prestasi yang tidak perlu diragukan lagi. Bermain untuk klub Olympique Lyonnais Féminin sejak 2013, dia merupakan bagian dari dominasi klub tersebut di Eropa. 6 Piala Divisi 1 Prancis (2014-2019), 5 Piala Coup de France (2014-2017, 2019), 4 piala Uefa Champions League (2016-2019) dan lebih dari 100 penampilan bersama dengan klub terkuat di Eropa ini menjadi bukti seberapa hebat dirinya di lapangan hijau. Masih berusia 28 tahun, seharusnya masih banyak yang bisa diberikan olehnya kepada klub dan Nadeshiko Japan.
Memiliki tinggi hanya 157 cm tidak membuat Yui Hasegawa berkecil hati. Pemain yang berposisi di sayap kiri ini berhasil memukau para penonton dengan gocekan-gocekan yang mengacaukan pertahanan lawan. Bermain untuk Nippon TV Beleza sejak berusia 16 tahun, dia sudah bermain sebanyak 114 kali di usia yang sangat muda. Dia juga merupakan bagian dari dominasi klubnya di Nadeshiko.League Division 1 yang menjuarai liga sebanyak empat kali secara beruntun (2015 – 2018)
Tidak tanggung-tanggung, pada tahun 2018 dia membantu klubnya untuk meraih Seasonal Triple Crown (memenangkan Nadeshiko League, League Cup, and Empress’s Cup dalam satu musim yang sama). Dia juga merupakan bagian dari tim yang berhasil mendapatkan medali emas Asian Games 2018 di Palembang.
Nadeshiko Japan akan dikomandoi mantan pemainnya yaitu Asako Takakura. Pelatih berusia 51 tahun ini menggantikan Norio Sasaki pada tahun 2016. Norio Sasaki sendiri merupakan pelatih yang mengantarkan Nadeshiko Japan menuju dua kali final Piala Dunia pada tahun 2011 dan 2015. Asako Takakura, pelatih wanita pertama Nadeshiko Japan, memiliki taktik yang tidak berbeda jauh dengan Norio Sasaki.
Mengandalkan kecepatan dan umpan-umpan pendek yang merepotkan lawan dia berhasil membawa timnya mendapatkan medali emas pada Asian Games 2018.
Nadeshiko Japan akan memulai gelaran 2019 FIFA Women’s World Cup menghadapi Argentina pada 10 Juni mendatang. Pertandingan ini akan menjadi pembuktian seberapa jauh mereka dapat melangkah pada gelaran empat tahun sekali ini. Nadeshiko Japan memang diunggulkan untuk lolos dari grup D.
Apakah Nadeshiko Japan dapat mengulang apa yang terjadi pada tahun 2011 atau kekalahan pada empat tahun yang lalu akan terulang? Tidak ada yang tahu, seperti kata mantan pemain timnas Jerman, Sepp Herberger: “Bola itu bundar, pertandingan berjalan selama 90 menit, dan hal lain hanyalah murni teori.”
Penulisan oleh Edbert (@vert10_)